Kekristenan Progresif menjadi viral pada awal tahun 2024, ketika seorang pendeta dalam sebuah podcast mengaku dirinya sebagai Kristen Progresif, diikuti sejumlah pernyataan yang memicu kontroversi. Kritikan tajam muncul di media sosial karena pernyatannya dianggap mengganggu gugat iman ortodoks. Menurut Pdt. Eka Darmaputera, ajaran ortodoks ini tidak boleh diganggu gugat, bersifat non-negotiable. “Kepedulian utama ortodoksi an sich adalah seperangkat prinsip kebenaran yang pasti, baku, dan resmi. Dan karena itu tidak boleh diganggu gugat” (Darmaputera, 2002, 43).

Ortodoksi adalah ajaran yang benar mengenai pribadi Yesus Kristus dan karya penyelamatan-Nya di kayu salib "Christian orthodoxy for our present purposes can be defined as “correct teaching regarding the person and work of Jesus Christ, including the way of salvation" (Kruger, 2010, 70). Ajaran ortodoks ini bersumber dan berakar dari Alkitab, bukan hasil spekulasi dan rekaan manusia. Tampaknya benar apa yang dikatakan oleh Pdt. Eka Darmaputera, ajaran yang “jorok’ ini sudah mengharu-birukan gereja-gereja di Indonesia. Selama ini, mereka yang menganut Kekristenan Progresif masih tiarap, belum memiliki keberanian seperti pendeta di podcast, yang memproklamirkan dirinya sebagai Kristen Progresif. Lainnya halnya di Eropa dan Amerika Utara yang lebih terbuka untuk menunjukkan jati dirinya sebagai Kristen Progresif.

Komitmen terhadap ortodoksi tentu saja penting. … Tuhan membenci gereja yang “jorok” dalam hal ajaran, … Gereja “jorok” seperti ini … mengimani spekulasi serta teori rekaannya sendiri, bukan lagi oleh kebenaran firman Tuhan. Saya melihat gejala mengerikan ini kian mengharu-biru gereja-gereja kita di Indonesia saat ini. Waspadalah! (2002, 42, 43).

Mengapa ajaran iman ortodoksi warisan bapa-bapa gereja dan Reformator masih penting dan relevan di tengah dunia yang terus berubah?

Tradisi Warisan

Pada pasal 3 butir 4 Tata Dasar GKI dituliskan, GKI, dalam ikatan dengan tradisi Reformasi, menerima Katekismus Heidelberg. Tradisi Reformasi mengacu pada cara penafsiran Alkitab yang diwariskan dari satu komunitas ke komunitas yang lain, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi dalam hal ini dapat diartikan sebagai sebuah proses pewarisan yang berkaitan dengan apa yang diwariskan.

Tradition is the authoritative delivery of this gospel from believer to believer, from community to community, from generation to generation. Thus tradition has two uses. It may refer to the act of passing on, and it may refer to what is passed on. (Leith, 1978, 17)

Alister McGrath menyatakan, tradisi berarti cara menafsirkan Alkitab dalam komunitas orang beriman. "'Tradition' here means simply 'a traditional way of interpreting Scripture within the community of faith'" (McGrath, 1995, 136). Tradisi menjamin kesetiaan terhadap ajaran para rasul, melindunginya terhadap penafsiran yang keliru atau kesalahan penafsiran teks Alkitab, seperti yang dilakukan kaum Gnostik. "Tradition is thus the guarantor of faithfulness to the original apostolic teaching, a safeguard against the innovations and misrepresentations of biblical text on the part of the Gnostics" (McGrath, 2001, 184). Penafsiran Alkitab merupakan sebuah kesinambungan dengan penafsiran gereja mula mula. "Tradition is willingness to read scripture, taking into account the ways in which it has been read in the past" (McGrath,1997, 247). Tradisi dapat juga dipahami (baik oleh Reformator maupun Konsili Vatikan Kedua) sebagai sebuah cara menafsirkan Alkitab setelah melalui sejarah pergulatan/pergumulan penafsiran Alkitab. "Tradition is thus rightly understood (as it was understood by both the Reformers and the Second Vatican Council) as a history of interpreting and wrestling with scripture" (McGrath, 1997, 247).

Sejak gereja mula mula, tradisi merupakan cara mengungkapkan ajaran iman yang melibatkan proses transmisi ajaran para rasul secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi melibatkan pihak yang menyerahkan dan pihak yang menerima secara berkesinambungan. Tradisi penafsiran Alkitab mengacu kepada konsensus/kesepakatan para bapa-bapa gereja. Penafsiran Alkitab yang diwariskan oleh bapa-bapa gereja dianggap sebagai penafsiran yang paling akurat dalam memahami pesan Alkitab.

From the earliest stages of the Christian church the language of “tradition” was the primary means of expressing the transmission of apostles’ teaching, which was itself reflective of the Lord’s own proclamation. The apostle Paul encouraged the Thessalonians to “stand firm and hold to the traditions we passed on to you” (2 Thess. 2:15). By “traditions” the apostle is using the word in its usual sense; a process of handling over and receiving something, in this case, a living and active transmission of the church’s preaching. (Williams, 2006, 19)

Scripture was the authoritative anchor of tradition’s content, and tradition stood as the primary interpreter of Scripture. … tradition is also an approach for interpreting the Bible by investigating and following the ancient consensus of the fathers. Their resulting theology accurately represented the message of Scripture. (27)

Tantangan Zaman

Alkitab tidak boleh ditafsir secara serampangan. Parameter penafsiran Alkitab harus menggambarkan adanya kesinambungan historis dengan gereja dari generasi ke generasi. Penafsiran yang demikian bersifat baku dan tetap. Dengan kata lain, non-negotiable.

Scripture could not be allowed to be interpreted in any arbitrary or self-serving way: it had to be interpreted within the context of the historical continuity of the Christian church. The parameters of its interpretation were historically fixed and “given.” … “and “tradition” refers to a “traditional way of interpreting Scripture.” (McGrath, 2001, 186)

Di era postmodern ini, penafsiran Alkitab sangat tergantung pada penafsir itu sendiri. Setiap orang mempunyai keleluasaan untuk menafsir Alkitab sesuai seleranya. Otoritas ada pada penafsir itu sendiri, bukan pada Alkitab. Si penafsir bisa memilah dan memilih teks Alkitab sesuai dengan seleranya, untuk mendukung maksud dan tujuan pribadinya. Oleh sebab itu, kita harus jeli. Walaupun ia mengutip ayat-ayat Alkitab, bukan berarti ia menjunjung tinggi Alkitab. Pdt. Eka Darmaputera mengingatkan kita,

Cek untuk tujuan apa ia mengutip ayat-ayat Alkitab itu? Apakah hanya untuk membenarkan pendapat sendiri? Mendukung pendapat sendiri? Kalau begitu, kelihatannya saja ia menjunjung tinggi Alkitab, tetapi sebenarnya ia memperalat firman Allah, ia memperkosa firman Allah, ia memutarbalikkan firman Allah (Darmaputera, 2005a, 62).

Robin R. Meyer, seorang tokoh Kekristenan Progresif, pendeta yang melayani di Mayflower United Christ Church selama 35 tahun, dan sejak 2022 melayani sebagai gembala di First Congregational Church of Norman United Christ Church, dalam bukunya, Saving Jesus from The Church: How to Stop Worshiping Christ and Start Following Jesus, menulis:

I have never believed in the virgin birth as a biological fact, the infallibility of scripture as a test of faith, the miracles as past suspension of natural law demanding current suspension of reason, the blood atonement (that the suffering of the innocent can vicariously atone for the sins of the guilty) as the foreordained mission of Jesus, the bodily resurrection as the only way to understand Easter, or the second coming as a necessity sequel—and I am the pastor of a church that does not define Christianity this way either. Naturally, people ask, “So what do you believe?” They seem puzzled by the answer. I say that we are not “believers” at all, not in the sense of giving intellectual assent to postbiblical propositions. Rather, we are doing our best to avoid the worship of Christ and trying to get back to something much more fulfilling and transformative: following Jesus. (2010, 6)

Ironis sekali, Robin Meyer, seorang pendeta yang menggembalakan jemaat, malah menyatakan dirinya “non-believer”, yang menolak otoritas Alkitab, tidak memercayai kelahiran Yesus Kristus sebagai sebuah fakta sejarah, tidak memercayai mukjizat, tidak memercayai penebusan dosa manusia, dan tidak memercayai kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Dengan demikian, Robin Meyer menolak keilahian Yesus Kristus yang adalah Tuhan dan Juru Selamat Dunia.

David M. Felten dan Jeff Procter-Murphy, tokoh Kekristenan Progresif yang melayani sebagai pendeta di United Methodist Church di Arizona, juga mempunyai pandangan yang sama dengan Robin R Meyer. Dalam buku Living the Questions: The Wisdom of Progressive Christianity, mereka menyatakan ketidakpercayaannya terhadap narasi Yesus dalam Alkitab sebagai fakta sejarah. "Much of what we know about Jesus and his life are not facts of history but images and methaphors. They are not historical but they are no less true" (2012, 47).

Mereka juga menolak keilahian/ketuhanan Yesus Kristus, menolak inkarnasi Yesus, menolak karya keselamatan Yesus untuk menebus dosa manusia, serta menolak kebangkitan Yesus.

Many Christians simply assume that it is and always has been a fact that “Jesus is God”—without thinking about any of the theological implications of such an idea for a so-called monotheistic religion. As a monotheistic Jew himself, it doesn’t make any sense that the historic Jesus would have even considered such a claim. (2012, 47)

Dengan keyakinan “iman” seperti ini, apakah Robin Meyer, David M. Felten, dan Jeff Procter-Murphy masih layak mengklaim diri mereka orang Kristen? Jelas tidak! Pdt. Eka Darmaputera dengan tegas mengatakan,

Tetapi hanya orang Kristen yang percaya bahwa Yesus Kristus itu Tuhan dan Juru Selamat! ... tetapi kalau ia tidak percaya bahwa Yesus itu Tuhan dan Juru Selamat, ia bukan Kristen. Kekristenan seseorang pertama-tama ditentukan oleh itu—bukan oleh apakah ia orang baik, tidak ditentukan oleh apa ia saleh atau demawan—tetapi apakah ia percaya bahwa Yesus itu Tuhan dan Juru Selamat atau tidak! (Darmaputera, 2005a, 16).

Gereja, yang dibangun di atas fondasi yang diletakkan oleh para rasul, "because the Christian church is built upon the foundation of the prophets and the apostles" (Young, 2019, 63), telah dijadikan sarana untuk menyangkal iman kepada Yesus Kristus. Kekristenan Progresif ini tidak lagi berpijak pada iman warisan para rasul yang ortodoks tetapi telah berpaling kepada ideologi kontemporer. “This is, ultimately, the heart of progressivism: we must always be moving beyond what the apostles and orthodox Chriatianity have bequeathed to us in order to make Christian faith that suits our contemporary sensibilities” (Young, 2019, 25).

Katekismus dan Kredo

Katekismus merupakan ringkasan doktrin utama, yang digunakan oleh kaum muda dan pemula untuk mempelajari pokok-pokok iman Kristiani. Katekismus dapat juga digunakan sebagai sarana untuk menguji mereka yang telah belajar, sejauh mana mereka telah memahami pokok-pokok iman. 

“A catechism in our Religion” is the name given to a brief and simple orally given summary of the main parts of Christian doctrine in which the youth and beginners are examined and heard on what they have leaned (Williamson, 1993, xi).

Katekismus berfungsi seperti sebuah peta yang menunjukkan sebuah lokasi, dan alat bantu navigasi untuk menentukan arah dan lokasi. Katekismus dan kredo seperti sebuah “peta jalan” rohani yang memuat pengajaran doktrin Alkitab. Katekismus dapat juga berfungsi sebagai bingkai yang membatasi kita, agar tidak keluar jalur atau menyimpang dalam menafsirkan Alkitab. Katekismus memudahkan kita untuk memahami Alkitab. Katekismus yang diwariskan sudah terbukti sangat bermanfaat bagi siapa pun dalam memahami Alkitab, seperti kesaksian para pendahulu kita.

The Bible contains a great wealth of information. It isn’t easy to master it all—in fact, no one has ever mastered it completely. It would therefore be foolish for us to try to do it on our own, starting from scratch. We would be ignoring all the study of the Word of God that other people have done dawn through the centuries. That is exactly why we have creeds. They are the product of many centuries of Bible study by a great company of believers. They are a kind of spiritual “road map” of the teaching of the Bible, already worked out and proved by others before us. (Williamson, 1993, 2-3)

Katekismus dan kredo tidak dapat menggantikan sentralitas Alkitab yang adalah firman Tuhan. Sumber kebenaran adalah Alkitab. Mereka bersifat subordinat, yang tunduk terhadap Alkitab. "So, the test of truth is the Bible, not the Catechism. We must always go from the Catechism to the Bible in order to make sure that it teaches the truth" (1993, 2). Walaupun katekismus dan kredo dapat memudahkan dan membantu kita untuk memahami Alkitab, tetapi mereka tidak dapat menggantikan otoritas Alkitab.

The basic pattern within the Reformation was thus to acknowledge Scripture as possessing primary and universal authority; the creeds as secondary and universal authority; and the Confession as tertiary and local authority (in that such Confession were only regarded as binding by a denomination or church in a specific region). (McGrath, 2001, 74)

Kredo yang sudah baku tidak perlu direvisi atau diganti, karena kredo berisi pokok-pokok iman yang sudah pasti dan tidak akan berubah. Kredo bersifat universal, mengikat semua orang Kristen dari masa lalu, sekarang, hingga masa depan. Gereja Tuhan tidak dibatasi hanya pada satu zaman dan pada satu tempat. Ketika kita mengikrarkan Pengakuan Iman Rasuli, kita bergabung dengan semua orang percaya, termasuk mereka yang telah mendahului kita.

And right here we see one of the most important things about a creed that is true to the Bible—it remains true down through the ages. It does not need to be changed again and again, with each generation, because it deals with things that are unchanging. Thus, an accurate creed binds the generation together. It reminds us that the church of Jesus Christ is not confined to one age, just as it is not confined to any one place. In other words, there is a unity in what Christians have believed, right down through the ages. Just think of it: when we confess our faith today in the words of the Apostles’ Creed, we join with all those believers who have gone before us. Does this not demonstrate that there is indeed just one Lord and one true faith? (Williamson, 1993, 3)

Katekismus Heidelberg

Tata Dasar GKI menyatakan, “GKI, dalam ikatan dengan tradisi Reformasi, menerima Katekismus Heidelberg.” Katekismus Heidelberg, yang ditulis oleh Caspar Olevianus dan Zacharias Ursinus pada abad 16, merupakan salah satu kredo terbaik peninggalan era Reformasi. Katekismus Heidelberg ini telah berhasil mendidik jutaan orang untuk memahami iman Kristen sepanjang sejarah. Walaupun disusun berabad-abad yang lalu, ajarannya tetap relevan bagi orang-orang pada masa kini. Katekismus ini juga telah teruji oleh waktu.

The Heidelberg Catechism is one of the finest creeds of Reformation period. A faithful teacher of millions, it has stood the test of time. It is still, today, one of the best tools available for learning what it means to be a Christian. (Williamson, 1993, 1)

Katekismus Heildelberg berisi pengajaran pokok-pokok iman Kristen, yang secara historis digunakan oleh gereja Reformasi/Calvinis. Katekismus disusun dalam bentuk pertanyaan dan jawaban. Melaluinya, kita dapat mempelajari doktrin iman Kristen. Katekismus ini dapat juga dipergunakan sebagai barometer untuk membedakan mana ajaran yang benar dan yang salah.

Katekismus Heidelberg dapat menolong kita untuk lebih memahami lebih dalam isi Pengakuan Iman Rasuli, yang setiap minggu kita ikrarkan, karena ia menjabarkan penjelasan pasal demi pasal dalam Pengakuan Iman Rasuli. Ketekismus Heidelberg berisi 129 pertanyaan dan jawaban. Strukturnya adalah sebagai berikut:

Bagian 1: Kesengsaraan Manusia

Terdiri dari Hari Tuhan 2, 3, dan 4, yang membahas:

  • Kejatuhan Manusia.
  • Kondisi Manusia yang Berdosa
  • Tuntutan Hukuman Allah

Bagian 2: Penebusan Manusia

Terdiri dari Hari Tuhan 5 sampai Hari Tuhan 31, yang membahas:

  • Perlunya Seorang Penebus dan Iman.
  • Penjelasan Pengakuan Iman Rasuli (Hari Tuhan 5–31).
  • Uraian tentang:
    • Allah Bapa dan Penciptaan (Hari Tuhan 9–10)
    • Allah Anak dan Keselamatan (Hari Tuhan 11–19)
    • Allah Roh Kudus dan Pengudusan (Hari Tuhan 20–22)
    • Pembenaran dan Sakramen (Hari Tuhan 23–31)
    • Sakramen Pembaptisan dan Doa Bapa Kami
    • Kunci-kunci Kerajaan Surga dan Displin Gereja

Bagian 3: Ungkapan Syukur dari Manusia

Terdiri dari Hari Tuhan 32 sampai Hari Tuhan 52, yang membahas:

  • Pertobatan (Hari Tuhan 32–33)
  • Sepuluh Perintah Allah (Hari Tuhan 34–44)
  • Doa Bapa Kami (Hari Tuhan 45–52) 

Creation–Fall–Redemption–Consummation

Dari struktur Katekismus Heidelberg di atas, dapat disimpulkan, pengajaran dalam katekismus ini sangat berkaitan dengan narasi besar Alkitab, yaitu CFRC, penciptaan (creation), kejatuhan (fall), penebusan (redemption), pemulihan (consummation). Katekismus ini menekankan karya penebusan Kristus di kayu salib untuk menggantikan manusia yang berdosa. Katekismus Heidelberg memberikankeyakinan kokoh bagi kita, bahwa dalam hidup dan mati, tubuh dan jiwa bukanlah milik kita sendiri, melainkan milik Kristus, yang telah menebus kita dengan darah-Nya. Hal ini ditegaskan pada pertanyaan dan jawaban di bagian awal katekismus.

Pertanyaan 1, yang merupakan pertanyaan pembuka pada Katekismus Heidelberg berbunyi, “Apakah satu-satunya penghiburan Saudara, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati?”

Jawaban: Bahwa aku, dengan tubuh dan jiwaku, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati, bukan milikku, melainkan milik Yesus Kristus, Juruselamatku yang setia.

Dengan darah-Nya yang tak ternilai harganya Dia telah melunasi seluruh utang dosaku dan melepaskan aku dari segala kuasa iblis.

Dia juga memelihara aku, sehingga tidak sehelai rambut pun jatuh dari kepalaku di luar kehendak Bapa yang ada di surga, bahkan segala sesuatu harus berguna untuk keselamatanku.

Karena itu juga, oleh Roh-Nya yang Kudus, Dia memberiku kepastian mengenai hidup kekal, dan menjadikan aku sungguh-sungguh rela dan siap untuk selanjutnya mengabdi kepada-Nya.

Warisan Tradisi Gereja

Kredo sebagai sebuah pernyataan iman yang berisi pasal-pasal yang dibutuhkan untuk keselamatan. Kredo juga dapat menunjukkan ke-ortodoks-an sebuah gereja.

A creed is a statement of faith for public use; it contains articles needful for salvation and the theological well-being of the church. Creeds have been used to test orthodoxy, and to serve as a convenient summary of the essential doctrines of faith. (Cairns, 1981, 117)

Gereja adalah kumpulan orang percaya dari segala abad, baik masa lalu, sekarang, dan masa depan. "The church, then, is the assembly of all believers, past and present, and continuity and unity exists because of the work of the Holy Spirit" (Beckwith, 2011, 72). GKI, sebagai gereja Reformasi yang Calvinis, akan tetap memelihara tradisi gereja yang sudah berabad-abad. Penerimaan pengakuan iman warisan tradisi, yaitu Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, dan Pengakuan Iman Athanasius, menunjukkan GKI tidak akan melupakan akarnya. Pdt. Eka Darmaputera mengungkapkan,

Itu artinya, bahwa GKI di dalam persekutuan dengan, artinya adalah bahwa GKI menyadari dirinya itu berada dalam hubungan dan persekutuan dengan gereja-gereja dari seluruh dunia, bahkan dari segala abad. … Kemudian dikatakan, bahwa kita menerima Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel dan Pengakuan Iman Athanasius. Saya tak akan menjelaskan secara rinci. Tapi intinya yang mau dikatakan di sini, adalah bahwa GKI berusaha memelihara tradisi gereja yang sudah berabad-abad. GKI tidak mengabaikan masa lalu. Kita mau menghargai “akar” kita. (Darmaputera, 2024b, 29)

Katekismus Heidelberg memberikan kepastian akan keselamatan melalui Kristus. Katekismus Heidelberg masih relevan dan bermanfaat sebagai bahan pembelajaran bagi umat Kristen di era postmodern ini. Katekismus Heidelberg dapat dijadikan sarana pembelajaran iman untuk menangkal berbagai bidah yang bertentangan dengan Alkitab. Bidah dari masa ke masa selalu menyangkal Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia. GKI sampai kapan pun tak tergoyahkan, akan tetap konsisten mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia. Pdt. Eka Darmaputera menulis,

Kemudian dalam Tata Gereja dikatakan, bahwa GKI mengku bahwa “Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia”. … Pernayataan di atas hendak menegaskan, bahwa kepercayaan akan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat Dunia, merupakan harga mati, harga pas. Sampai kapan pun selama GKI adalah GKI, kepercayaan itu harus dipertahankan. Kita harus berdiri di atas kepercayaan itu. (Darmaputera, 2004a, 25)

Relevansi Katekismus Heidelberg

Katekismus Heidelberg telah digunakan sebagai alat pengajaran doktrin dasar iman Kristen selama berabad-abad. Sebagai jemaat GKI, di tengah dunia postmodern yang mengagungkan relativisme, menolak kebenaran absolut, menolak kebenaran objektif, dan menolak standar moral yang absolut, pengajaran dalam Katekismus Heidelberg dapat menjadi fondasi yang kokoh dalam menghadapi rupa-rupa ajaran, termasuk Kekristenan Progresif yang tidak selaras dengan firman Tuhan. Dengan berpegang pada ajaran yang benar, kita akan mudah mendeteksi ajaran yang salah. Jangan sampai kita menistakan Tuhan dengan ajaran yang salah. Pdt. Eka Darmaputera menasihati kita agar mengenal kebenaran terlebih dahulu,

Kita coba mengenali dulu yang benar, paling sedikit apa yang kita yakini sebagai yang benar, yang dasarnya Alkitab karena kita orang Kristen, dan Tata Gereja, karena kita orang GKI. Kenali yang benar, baru nanti kita bisa tahu mana yang salah. Kalau cuma ingin tahu mana yang salah, kita belum tentu akan tahu mana yang benar.  Tetapi kalau kita tahu mana yang benar, maka kita akan tahu mana yang salah. (Darmaputera, 2004a, 12)

Memuliakan Dia dengan “doktrin” dan “ajaran” yang benar. Ini jangan Anda sepelekan. Sebab doktrin yang salah serta ajaran yang sesat adalah pencemaran, penistaan, serta penghujatan yang serius terhadap kekudusan nama Tuhan! (Darmaputera, 2004c, 56)

Katekismus Heidelberg memberikan landasan teologis yang kokoh bagi kita untuk menolak ajaran Kekristenan Progresif, yang tujuan akhirnya adalah ateisme. Pengetahuan akan iman ortodoks akan memampukan kita menelanjangi para serigala berbulu domba. Jemaat Efesus dalam kitab Wahyu dipuji, karena mereka sangat mewaspadai pengajar-pengajar sesat dan nabi-nabi palsu. Pengetahuan dan komitmen mereka akan ajaran yang benar itulah yang memampukan mereka menelanjangi para serigala berbulu domba, dan “mendapati mereka pendusta”. (Darmaputera, 2002, 41).

Evang Darmaputera, dalam kata pengantar buku Pdt. Eka Darmaputera, 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan, menuliskan keinginan Pdt. Eka Darmaputera, agar kita selalu waspada, tidak mudah digoyahkan oleh tawaran dunia, tetap setia kepada iman Kristen yang historis dan ortodoks.

Ia ingin kita semua menjalani proses kehidupan ini dengan waspada, kritis terhadap tantangan dan pilihan-pilihan yang ditawarkan dunia kepada kita. Sebagai orang-orang percaya kita diingatkan untuk selalu berpegang teguh pada iman dan nilai-nilai kristiani serta mewujudkan makna beragama dalam kehidupan bersama. Karena itu, kita diajak untuk selalu peka terhadap ajaran-ajaran dunia yang menyesatkan, dan juga peka terhadap nasib sesama (Darmaputera, 2005b, viii).

Daftar Pustaka

Alkitab. 2023. Alkitab Terjemahan Baru Edisi Kedua. Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta

BPMS GKI. 2009.  Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia. PT. Adhitya Andrebina Agung, Jakarta.

Beckwith, Carl L. 2011. “The Reformers and the Nicene Faith: An Assumed Catholicity”. Di dalam Evangelicals and Nicene Faith: Reclaiming the Apostolic Witness. Editor L. Timothy George. Baker Academic, USA.

Cairns, Earle E. 1981. Christianity Through the Centuries: A History of the Christian Church. Academie Books, USA.

Darmaputera, Eka. 2002. Dengarlah yang Dikatakan Roh. Gloria Cyber Ministres. Yogyakarta.

Darmaputera, Eka. 2004a. Pengantar di dalam Hodos: GKI di Tengah Kepelbagaian Ajaran. Kelompok Kerja Pembinaan GKI Jabar, Jakarta.

Darmaputera, Eka. 2004b. Identitas GKI di dalam Hodos: GKI di Tengah Kepelbagaian Ajaran. Kelompok Kerja Pembinaan GKI Jabar, Jakarta.

Darmaputera, Eka. 2004c. Tuhan Ajarlah Kami Berdoa. Gloria Graffa, Yogyakarta.

Darmaputera, Eka. 2005a. Menyembah dalam Roh dan Kebenaran: Khotbah-khotbah Tentang Kehidupan Beribadah dan Bergereja yang Kontekstual. BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Darmaputera, Eka. 2005b. 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan. BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Felten, M. Felten and Murphy, Jeff Procter. 2012. Living the Questions: The Wisdom of Progressive Christianity. HarperCollins, USA.

Leith, John H. 1978. Introduction to the Reformed Tradition. John Knox Press. Atlanta, USA.

Kruger, Michael J. 2010. The Heresy of Orthodoxy: How Contemporary Culture’s Fascination with Diversity Has Reshaped Our Understanding of Early Christianity. Crossway, USA.

McGrath, Alister E. 2001. Christian Theology: An Introduction 3rd Edition. Blackwell Publisher, Great Britain.

McGrath, Alister E. 1995. Reformation Thought: An Introduction 2nd Edition. Baker, USA.

McGrath, Alister E. 1997. Studies in Doctrine. Zondervan, USA.

Meyers, Robin R. 2010. Saving Jesus from the Church: How to Stop Worshiping Christ and Start Following Jesus. HarperCollins, USA

Ursinus, Zakharias dan Olevianus, Caspar. Heidelberg Catechism: Teaching of the Reformed Faith. Icthus Press, Scotland, UK.

Ursinus, Zakharias dan Olevianus, Caspar. Katekismus Heidelber: Pengajaran Agama Krsiten. BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Williams, D.H. 2006. Tradition, Scripture, and Interpretation: A Sourcebook of the Ancient Church. Baker Academic, USA.

Williamson, G.I. 1993. The Heidelberg Catechism: A Study Guide. P & R Publishing, USA.

Young, David. 2019. A Grand Illusion: How Progressive Christianity Undermines Biblical Faith. Renew, USA.