Istilah “Kekristenan Progresif” menjadi viral pada awal tahun 2024, ketika seseorang yang menyebut dirinya pendeta dalam sebuah podcast mengaku dirinya sebagai penganut Kekristenan Progresif. Pengakuan ini dan pernyataan selanjutnya dalam podcast tersebut menimbulkan reaksi keras di media sosial. Sebagian besar mengkritik pernyataan tersebut, karena dianggap bertentangan dengan pokok-pokok iman Kristiani. Pendeta tersebut akhirnya mengundurkan diri dari sinode gerejanya.
Allen Parr, dalam bukunya, Misled: 7 Lies That Distort the Gospel menulis, Kekristenan Progresif ini tidak memiliki organisasi resmi, dan bukan merupakan sebuah denominasi Kristen tertentu, tetapi merupakan sebuah gerakan di kalangan sekelompok orang Kristen, yang memiliki sejumlah kepercayaan iman yang berbeda dari keyakinan iman yang dianut oleh Kristen Tradisional/Konservatif/Historis. Gerakan ini berakar pada Kekristenan Liberal, yang dipengaruhi oleh pemikiran era Rasionalisme, Romantisme, dan zaman Pencerahan dari abad ke-18 dan 19.
Istilah Kekristenan Progresif (Progressive Christianity) ini muncul pada awal tahun 1990, dengan didirikannya Center for Progressive Christianity. Gerakan Kristen Progresif ini sangat dipengaruhi oleh budaya Postmodern, sehingga mereka berupaya untuk merevisi, mengkaji ulang, dan memperbarui teologi, doktrin, dan praktik dalam gereja, agar relevan dengan perubahan zaman. "… advocated a revision of its theology, its doctrine, and its praxis to align with a modern, secular worldview” (King, 2023, 87).
Krisis Iman
Alisa Childers, dalam bukunya, Another Gospel?: A Lifelong Christian Seeks Truth in Response to Progressive Christianity, menceritakan kisah perjalanan imannya. Alisa Childers tanpa sadar terperangkap dalam pemuridan yang hampir menggoyahkan imannya. Beberapa bulan setelah beribadah di sebuah gereja, Childers diundang oleh pendeta gereja tersebut untuk bergabung dalam kelompok kecil diskusi teologi yang berlangsung selama 4 bulan, setara dengan mutu pendidikan teologi 4 tahun di seminari.
This pastor asked me to participate in an invite-only, small, and exclusive discussion group. He told me it was a ministry training course that would result in a theological education comparable to four years in seminary. "Education" was an understatement. It was more like an upheaval. The class lasted four years. I lasted four months. (2020, 6)
Pada mulanya, Alisa tidak menyadari bahwa gereja tersebut menganut pemahaman teologi yang progresif. Pendeta yang menyebut dirinya “hopeful agnostic”, mengakui bawa dirinya tidak mempercayai kelahiran Yesus dari anak dara Maria; meragukan kebangkitan Kristus; menolak penebusan Kristus melalui kayu salib; menolak keabsahan, kebenaran, dan otoritas Alkitab sebagai firman Tuhan. Setelah selesai mengikuti diskusi kelompok kecil tersebut, Alisa Childers mengalami keguncangan rohani, seperti orang linglung yang kehilangan arah. Ia merasa seperti terjun ke dalam lautan yang diombang-ambingkan oleh badai. Dalam keputusasaannya, Alisa Childers berdoa, memohon kepada Tuhan untuk mengirimkan sekoci penyelamat.
After leaving that progressive church, I was thrust into a spiritual blackout—a foray into darkness like I’d never known. I knew what I believed; now I was forced to consider why I believed. Dog-paddling to keep my head above water in that storm-tossed ocean. I beg God for rescue: “God, I know you’re there. Please send me a lifeboat.” (2020, 8)
Tuhan menjawab permohonannya beberapa tahun kemudian. Ketika berkendara dalam sebuah perjalanan, Alisa Childers mendengarkan radio yang menyiarkan percakapan tanya-jawab antara seorang apologet dengan para skeptis yang menggugat iman Kristen. Jawaban-jawaban apologet tersebut menyejukkan hati dan meneguhkan kembali imannya yang sempat goyah. Sejak saat itu, Alisa Childers berupaya mendalami kebenaran firman Tuhan dengan membaca buku teologi, apologetika, dan mengikuti kelas teologi di seminari. Setelah badai krisis iman yang menerpanya berlalu, Alisa Childers semakin kokoh dalam imannya kepada Tuhan Yesus, dan giat melayani Tuhan sebagai apologet dan penulis yang aktif di media sosial.
Dave Stovall, dalam bukunya, Losing My Faith in Progressive Christianity, menceritakan saat mengalami kegoncangan iman yang menakutkannya. Dave Stovall mengalami krisis iman, karena meragukan eksistensi Tuhan dan keselamatan yang diyakininya selama ini. Krisis iman diawali ketika Dave mengikuti kelompok kecil NOOMA, yang model pembelajarannya menonton serial video dengan pembicara Rob Bell. Rob Bell adalah salah satu tokoh Kekristenan Progresif. Dave Stovall mendapatkan hal yang baru dari video-video NOOMA tersebut, sehingga ia ketagihan untuk terus mengikuti ajaran Rob Bell.
Terdorong keingintahuan untuk memahami ajaran baru ini lebih lanjut, Stovall membaca buku Rob Bell, Velvet Elvis, yang mempertanyakan doktrin-doktrin Konservatif/Ortodoks. Acapkali, ayat Alkitab digugat dengan pertanyaan “bagaimana jika (what if)” ... atau ayat ini “dapat juga berarti (could also mean)”, atau dengan berbagai pertanyaan yang berupaya menggoyahkan iman, seperti “apakah Allah sungguh berkata demikian?”
Those three words along with what ifs in that scenario ended up creating a deeper sense of doubt in the whole thing for me. Before that moment, I had not questioned who had written the Bible. If you had asked me who wrote it, I would’ve answered, “God, of course,” which had worked in Sunday School. Out in the real world, that answer wasn’t working anymore. In fact, those three words (“could also mean”) became the theological theme I was most interested in knowing about. (2024, 55)
Proses pemuridan yang dilalui ini membuat Dave Stovall terkejut, karena tanpa disadarinya ia telah melangkah semakin mendekat ke agnostik, dan jika langkah tersebut dilanjutkan, ia akan menjadi seorang ateis. “I was shocked when I realized that I myself was only a few steps away from agnosticism and eventually (where the author landed) atheism” (Stovall, 2024, 78). Setelah mengalami dekonstruksi iman yang mengguncangkannya, akhirnya Dave Stovall dapat melepaskan diri dari cengkeraman pengaruh Kekristenan Progresif, dan kembali ke Kekristenan Historis. Kehidupan spiritualnya pun dipulihkan. Dave Stovall tidak lagi terombang-ambing dalam petualangan iman yang tak menentu. "I’d like to talk about how radically my life has changed since coming back to historic Christianity. One of the main differences between the deconstructing me and the reconstructed me is that I no longer identify as a progressive or a spiritual wanderer"(2024, 124).
Iman yang Berbeda
Sebagaimana kita ketahui, narasi utama Alkitab adalah penciptaan (creation)–kejatuhan (fall)–penebusan (redemption)–pemulihan (consummation), atau yang dikenal sebagai CFRC. Ini merupakan kebenaran hakiki (essential truth), karena menyangkut keselamatan. "Essential truths. Things essential to our salvation. This includes beliefs like Jesus being the Son of God, the fact that Jesus literally died and literally rose again" (Stovall, 2024, 29). Yesus Kristus Juru Selamat Dunia adalah kebenaran hakiki yang bersifat non-negotiable, tidak dapat ditawar, harga mati.
Alkitab menyatakan, kita semua berdosa dan layak dihukum. Oleh karena kasih-Nya, Tuhan Yesus Kristus berinkarnasi menjadi manusia, untuk menebus kita melalui kematian-Nya di kayu salib. Melalui kematian Yesus di kayu salib untuk menggantikan kita yang berdosa, terjadilah rekonsiliasi manusia dengan Allah.
Orthodox biblical Christianity unambiguously states that humans are fallen in sin and incapable of saving themselves. Because of our sin, each of us is separated from God and deserves to be punished. But in his great mercy, God became human in the person of Jesus, took our sins upon himself, and bore our punishment on the cross. (Young, 2019, 78)
Klaim kebenaran Alkitab ini ditolak oleh Kekristenan Progresif. Kekristenan Progresif menolak konsep dosa dan penghakiman. Mereka menolak Yesus sebagai Tuhan dan karya penebusan Kristus di kayu salib.
Progressives don’t like atonement, in part because they don’t like the concept of sin and judgement. But atonement theory is critical to the Christian faith because it preserves both God’s justice and his mercy. Indeed, without the atonement, God will be an unjust God, ... Progressives will find a way to deny atonement because they don’t want to believe that we are sinners who will be punished by a just God. But they also avoid doctrines about atonement because they don’t like the idea of Jesus as divine.... Bottom line is that the doctrine of atonement only works if Jesus is divine. (Young, 2019, 83, 84)
Sepintas lalu, Kekristenan Progresif tampak seperti Kekristenan Ortodoks, karena masih mempertahankan terminologi yang digunakan oleh Kekristenan Tradisional. Namun, mereka memberikan definisi baru yang jauh berbeda dari pemahaman iman ortodoks. Kekristenan Progresif tidak mengakui atau menerima segala doktrin, dogma, maupun kredo ortodoks. Mereka menolak otoritas Alkitab yang diilhamkan oleh Roh Kudus.
Progressive Christianity does not match orthodox Christianity’s historical, traditional, and theological facts and beliefs in many ways. Progressive Christianity, on some level, seeks to be “orthodox,” but without the dogma, creeds, and literal rendering of the Bible as supernatural books. (Jiminez, 2023, 20, 21)
Realita Progressive Christianity
Rebekka King, dalam bukunya, The New Heretic: Skepticism, Secularism, and Progressive Christianity, melakukan penelitian lapangan terhadap lima gereja yang menganut Kekristenan Progresif, yaitu George Street United Chuches, West Hill United Church di Canada, St. Matthias Anglican Church, St. Peter’s Anglican Churxh, Holy Cross Lutheran Church di USA. Untuk mendalami kehidupan gereja-gereja tersebut, King melakukan riset lapangan selama dua setengah tahun, dengan terlibat dalam berbagai aktivitas kegiatan gereja, termasuk mengikuti kebaktian dan kelompok kecil. King menghabiskan waktu sekitar enam bulan untuk melakukan riset di masing-masing gereja tersebut.
Pada umumnya, Progressive Christianity menolak karya penebusan Kristus di kayu salib. Bagi kelompok ini, creation–fall–redemption–consummation (CFRC) tidak lebih dari sebuah mitos. Kelompok ini masih mengikrarkan Pengakuan Iman Rasuli, tetapi tidak menerima dan tidak memercayai isi Kredo Para Rasul dan Kredo Nicea.
Creeds, such as the Apostles’ Creed or Nicene Creed, which are recited regularly in many mainline Protestant denominations, are examples. While they reflect traditional Christian beliefs, progressive Christians do not accept the creeds' claim about miracles. That is, progressive Christians know that God did not create the heavens and the earth, that Jesus was not conceived by a virgin, and that he did not rise again or ascend into heaven, nor do they anticipate a second coming, a future resurrection, or a life in the world to come. To say otherwise is deceptive. (2023, 85)
Di satu sisi masih mengakui otoritas Alkitab, di sisi lain mereka sebenarnya tidak memercayai otoritasnya. Sesuatu yang kontradiktif. Progressive Christian maintains the authoritative framework of Bible reading and interpretation while rejecting its message and teaching ... (2023, 108). Pembelajaran mereka melalui kelompok kecil–book studies–bukan untuk mempelajari dan mendalami firman Tuhan, melainkan teologi alternatif, sebagai bentuk perlawanan/pemberontakan/penolakan terhadap iman konservatif/ortodoks/tradisional. "Progressive Christians understand book studies as one of their most important religious activities and forums for articulating a theology based on resistance to conservative Christianity" (2023, 87).
Para penganut Kekristenan Progresif ini menyadari, penolakan terhadap iman konservatif/ortodoks/tradisional akan berdampak terhadap kelangsungan hidup gereja mereka. Mereka memahami, dengan meninggalkan iman Kekristenan Tradisional, mereka sedang berbalik arah menuju titik akhir, yaitu ateisme. "They were all more or less understood to be heading in the same direction, which they perceived to be a forward-oriented path to ultimately abandoning their Christianity in favor for atheism" (2023, 172). Sejujurnya, mereka tidak layak lagi menggunakan kata “Kristen”, karena sudah menjadi skeptik, agnostik dan bidah. Lebih tepat jika mereka menyebut dirinya sebagai humanis sekuler. Bila masih ingin menggunakan atribut Kristen, lebih tepat mereka menyebut dirinya Kristen Skeptis, Kristen Agnostik, Kristen Ateis dan Kristen Bidah.
Why and how do progressive Christian retain a Christian identity? And what, exactly, do they think it means to be Christian? While it might seem more plausible that they would abandon Christianity and adopt secular humanism, progressive Christians hold on to the idea that they are Christians, albeit as skeptics, atheists, and heretics. (2023, 113).
Gereja yang berada dalam pengaruh Kekristenan Progresif juga giat melakukan aktivitas pemuridan. Namun, pemuridan tersebut bertujuan untuk memuridkan anggota gerejanya menjadi ateis. Cheryl, pemimpin kelompok kecil di West Hill United Church berupaya memastikan, anggota kelompok kecilnya tidak lagi percaya kepada Allah dengan mengajukan pertanyaan, apakah ada anggota di kelompok kecilnya yang masih percaya Allah? Siapa yang belum siap menyingkirkan gagasan Allah dari dalam dirinya? Semua anggota kelompoknya yang berjumlah enam orang sepakat, menyatakan mereka sudah tidak mempercayai Allah.
“So, does anyone still believe in God?” asked Cheryl, whom our group had chosen to lead the discussion. Without waiting for response, she paused and amended her question, “Does anyone still feel the need to believe in God? Who isn’t ready to give up that image yet? … The conversation proceeded. The six members collectively agreed that we certainly did not believe in the theistic version of God familiar to many of us from childhood. … Ultimately, the group determined that, for progressive Christians, the best course of action would probably be to do away with this whole notion of God altogether. (2023, 146).
Jodi, anggota Anglican Church dalam percakapannya dengan Rebekka King mengungkapkan ketidaksabarannya terhadap anggota gereja yang belum sepenuhnya menjadi ateis.
Throughout our conversation, Jodi expressed impatience toward others in her church who were not yet atheists. … Jodi began by positioning herself as an atheist (“I call myself an atheist”) and explained her disbelief in God (“I don’t believe in anything that I can call God”). (2023, 156)
Apakah Kekristenan Progresif, yang jelas-jelas tidak mempercayai Allah ini temasuk bidah atau bukan? Pdt. Timur Citra Sari mendefinisikan bidah demikian,
Sedangkan bidah, biasanya diterjemahkan sebagai aliran yang pengajarannya dipandang salah, atau sesat. Penolakan sebuah aliran terhadap ketuhanan Kristus, misalnya membuat aliran tersebut berhadapan dengan gereja yang jelas mengakui Kristus sebagai Tuhan. Aliran yang menyampaikan pengajaran seperti ini dipandang sebagai bidah. (Hodos, 2024, 54)
Dapat dipastikan, Kekristenan Progresif yang tidak percaya kepada Tuhan dan karya keselamatan melalui Kristus untuk menebus orang berdosa, termasuk bidah. Bidah di abad 21 yang oleh Rebekka King disebut New Heretic (Bidah Baru).
Kehancuran Gereja Kristen Progresif
Berulang kali, para anggota gereja yang menganut Kekristenan Progresif, yang ditampilkan Rebekka King dalam bukunya, The New Heretic, terlibat perbincangan di antara mereka mengenai masa depan gerejanya. Mereka pesimis melihat masa depan gereja yang suram. Mereka bertanya-tanya di antara mereka sendiri, berapa lama lagi mereka masih bisa beraktivitas di gereja tersebut, sebelum gereja itu punah. Mereka juga mereka-reka berbagai skenario tentang proses berakhirnya eksistensi gereja mereka. Hedy, anggota West Hilll United Church mempunyai firasat, komunitas gerejanya tidak akan eksis lagi pada dekade mendatang
Over and over again, the progressive Christians featured in this book spoke of “the end.” They postulated different scenarios concerning the end of Christianity and the ultimate demise of their own churches. Hedy’s worries that the church would not be around even for as long as she would suggest the possibility that the community would not survive for another decade. (2023, 194)
Sama halnya dengan Gereja Liberal dan Gereja Arus Utama, Kekristenan Progresif juga mengalami kehilangan banyak anggotanya, bahkan kehilangan relevansinya dalam dunia kekristenan itu sendiri. "That many progressive Christians share with liberal and mainline traditions in regard to the steady decline of their congregations and a perceived loss of relevancy within society" (King, 2023, 154). Anggota gereja West Hill United Church tidak bisa menjawab ketika ditanya mengenai eksistensi gereja mereka. Mereka menyadari, akan sulit mempertahankan status quo gerejanya di masa mendatang. "None had an answer as to what the future for progressive Christianity would look like, but all were clear that it would not be able to sustain the status quo" (2023, 144).
Karena perbedaan teologi, perpecahan terjadi di West Hill United Church. Sebagian anggota berpendapat, West Hill United Church terlalu jauh menyimpang dari iman ortodoks. Anggota yang merasa tidak nyaman dengan pergeseran iman gereja ke ideologi ateisme memilih untuk meninggalkan gereja tersebut, dan pindah ke gereja United Church yang lebih konservatif. "About halfway through my fieldwork, several congregants left the church and began attending a different United Church congregation. This departure signified a growing discomfort with the church’s atheist stance (2023, 56).
Melihat kemungkinan West Hill United Church akan punah, Hedy sangat emosional meratapi kepergian anggota gerejanya, yang akan mempercepat proses kematian gereja itu sendiri.
Hedy and other member of West Hill foresaw a future without the United Church of Canada. … The fact that she spoke so strongly, coupled with her emotional reaction to the recent departure of several members because of theological differences, suggest that Hedy was uncertain about the future of West Hill. (2023, 139)
Menurut Rebekka King, di antara lima gereja tempat ia melakukan penelitian lapangan terhadap pengaruh Kekristenan Progresif, gereja West Hill United Church-lah yang paling radikal. Gereja ini pernah digembalakan oleh seorang pendeta yang mengaku dirinya ateis, yaitu Gretta Vosper hingga tahun 2024. Vosper sama sekali tidak percaya kepada Tuhan (sudah memutuskan hubungan dengan Tuhan), tidak peduli dengan doktrin gereja, tidak percaya iman apa pun, kecuali ideologi ateisme.
When Vosper shifted her self-identifying label from non-theist to atheist, she signaled a break from more than the tenets of church doctrine. She was no longer adding nuance or metaphor to theism; instead, she discursively and irreversibly cut ties, not with God (whom she abandoned long ago) but with belief. Her rupture pertained to the practice of believe, or the believing. Indeed, Vosper and other progressive Christians have replaced faith with skepticism as their principal religious modality. (2023, 204)
Kehilangan anggota juga dialami oleh Mars Hill Bible Church, yang didirikan oleh Rob Bell pada tahun 1999. Pandangan teologi Rob Bell yang terus bergeser ke Kekristenan Progresif, menimbulkan dampak negatif bagi gerejanya. Rob Bell harus mengundurkan diri pada tahun 2011 sebagai pendeta di gereja yang didirikannya, karena kontroversi buku yang ditulisnya, Love Wins. Sejak terbitnya buku itu pada tahun 2011, Mars Hill Bible Church mendapat banyak tekanan, terutama dari anggota gerejanya, dan kehilangan tiga ribu anggotanya. Banyak anggota merasa tidak nyaman beribadah di gereja tersebut, karena mendapat sorotan dari keluarga dan handai taulan mereka, yang mempertanyakan sikap mereka yang masih beribadah di gereja yang dipimpin oleh guru palsu. "Congregants reported that friends and family members were asking why they were allowing themselves to be led by a false teacher" (Weber, 2012). Untuk mencegah eksodus lebih lanjut, maka Rob Bell terpaksa mengundurkan diri.
Buku Love Wins, yang ditulis Rob Bell, berupaya menyingkirkan neraka versi Alkitab. Rob Bell sulit menerima Allah yang penuh kasih mengirim manusia ke neraka, untuk menjalani hukuman penderitaan secara kekal, untuk dosa yang dilakukan dalam hidup yang singkat di dunia ini.
“Is history tragic? Have billions of people been created only to spend eternity in conscious punishment and torment, suffering infinitely for the finite sins they committed in the few years they spent on earth? Because if something is wrong with your God, if your God is loving one second and cruel the next, if your God will punish people for all of eternity for sins committed in a few short years. (Bell, 2011, 102, 175)
Tampaknya, ada kesamaan pandangan antara pendeta yang dikisahkan di awal tulisan ini dengan Rob Bell. Pendeta dalam podcast itu menyatakan, bagaimana mungkin Tuhan yang penuh kasih membiarkan orang yang baik masuk neraka hanya karena ia tidak menerima dan percaya kepada Yesus Kristus? Gaya pertanyaan pendeta tersebut adalah ciri khas pertanyaan yang digunakan oleh penganut Kekristenan Progresif untuk menggoyahkan iman kepercayaan terhadap firman Tuhan. Pendeta tersebut akhirnya mengikuti jejak Rob Bell, mengundurkan diri dari gerejanya, karena pernyataannya mendapat kritik tajam di media sosial. Seandainya pendeta itu tidak mengundurkan diri, gerejanya pasti akan menghadapi tekanan seperti Mars Hill Bible Church, yang kehilangan banyak anggotanya.
Gereja, yang seharusnya menjadi tempat menyembah dan memuliakan Tuhan, mendidik jemaat untuk lebih memahami firman Tuhan, oleh Kekristenan Progresif justru dijadikan sarana untuk memuridkan anggotanya menjadi seorang skeptis, agnostik, ateis, yang menyangkal Tuhan. Kekristenan Progresif ini memang berprogres (maju), dengan meninggalkan iman ortodoks menuju ateisme–humanisme sekuler, yang mempertuhankan diri sendiri, dengan mengagungkan/ meninggikan manusia.
Waspada Selalu
Bidah-bidah, termasuk Kekristenan Progresif, yang menyimpang dari kebenaran Alkitab dapat memicu krisis iman, seperti yang dialami Alisa Childers dan Dave Stovall, dan juga dapat menghancurkan gereja itu sendiri. Ironisnya, gereja justru dihancurkan dari dalam oleh mereka yang mengaku Kristen. Rasul Petrus, dalam 2Petrus 2:1-3 mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap nabi-nabi dan guru-guru palsu:
Sebagaimana nabi-nabi palsu dahulu tampil di tengah-tengah umat Allah, demikian pula di antara kamu akan ada guru-guru palsu. Mereka akan memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan, bahkan mereka akan menyangkal Penguasa yang telah menebus mereka dan dengan demikian segera mendatangkan kebinasaan atas diri mereka. Banyak orang akan mengikuti cara hidup mereka yang dikuasai hawa nafsu, dan karena mereka Jalan Kebenaran akan dihujat. Karena serakahnya guru-guru palsu itu akan berusaha mencari untung dari kamu dengan ceita-cerita isapan jempol mereka. Untuk perbuatan mereka itu hukuman telah lama tersedia dan kebinasaan tidak akan tertunda.
Kita perlu meningkatkan kewaspadaan, karena Kekristenan Progresif ini menyusup ke dalam berbagai gereja secara halus, sehingga sulit terdeteksi. Apa yang dialami oleh Alisa Childers dan Dave Stovall juga dapat menimpa kita, jika kita lengah dan mengabaikan pengajaran doktrin-doktrin pokok Alkitab.
Dave Stovall melihat, Kekristenan Progresif sudah masuk ke berbagai denominasi gereja. "It’s called progressive Chritianity now, and it’s sweeping through the church" (Stoval, 2024, 10). Alisa Childers dalam pengamatannya mendapatkan fakta, gereja yang terdeteksi progresif telah melakukan penghapusan atau merevisi pengakuan iman ortodoks gerejanya dengan pengakuan iman yang lebih relevan dengan dunia postmodern yang serba relatif. Acapkali, jemaat tidak menyadari perubahan ini.
Churches began identifying as progressive and removing or editing the faith statements on their websites ... Entire denominations are now filled with those who identify as such. Yet many other Christians sit in pews every Sunday completely unaware that their church has adopted progressive theology. (Childers, 2020, 7-8)
Kita harus waspada terhadap berbagai gejala perubahan yang mengganti iman ortodoks dengan ideologi Kekristenan Progresif. Pdt. Eka Darmaputera mengingatkan kita untuk waspada, "Gejala mengerikan ini kian mengharu-biru gereja-gereja kita di Indonesia saat ini. Waspadalah!" (2002, 43).
Sekali lagi, Dave Stovall mengingatkan, jangan sampai kita terlena dan tanpa sadar dimuridkan atau membiarkan diri kita dimuridkan oleh dunia.
My encouragement to you is this: don’t let yourself be someone who is unknowingly being discipled by the world by letting it shape your thoughts and feelings so that they determine what you can and can’t seem to believe in. (Stovall, 2024, 64)
Pdt. Eka Darmaputera memberikan nasihat kepada kita untuk berjaga-jaga dan mengandalkan firman Tuhan untuk menangkal berbagai ajaran yang menyimpang dari firman Tuhan.
Di situ ada unsur kesengajaan mengatakan sesuatu yang tidak benar. Di situ ada maksud dan tujuan yang dekstruktif; niat untuk menghancurkan. Dan di situ ada bentuk penipuan yang sedemikian pintarnya, membuat korban sama sekali tidak menyadari bahwa sebenarnya ia sedang didustai atau diperdayai. (Darmaputra, 2005a, 230).
Para penyesat umat itu masih diberi kesempatan untuk bertobat. Kita-kita saja—umat yang polos dan lugu—yang mesti waspada dan pandai-pandai menjaga diri, agar jangan sampai teperdaya. Selalu kritis dan siaga, tak gampang-gampang percaya. Siap “menguji setiap roh” (1Yohanes 4:1). (2005a, 67)
Kita jangan teperdaya oleh ajaran pendeta yang melenceng. Kita harus bersikap kritis untuk menyelidiki pengajaran pendeta tersebut dengan menggunakan tolak ukur Alkitab. “Bagaimana kita tahu kalau ia menambah-nambah atau mengurang-ngurangi firman Tuhan? Tidak ada jalan lain. Anda sendiri harus akrab bergaul dengan firman Tuhan. Harus rajin mempelajari firman Tuhan” (2005b, hal. 63).
Daftar Pustaka
Bell, Rob. 2011. Love Wins: A Book About Heaven, Hell, And the Fate of Every Person Who Ever Lived. HarperCollins, USA.
Bell, Rob. 2012. Velvet Elvis: Repainting the Christian Faith. HarperCollins, USA.
Childers, Alisa. 2020. Another Gospel?: A lifelong Christian Seeks Truth in Respoce to Progressive Christianity. Tindale Momentum, USA.
Darmaputera, Eka. 2002. Dengarlah yang Dikatakan Roh. Gloria Cyber Ministries, Yogyakarta.
Darmaputera, Eka. 2004a. Identitas GKI di dalam Hodos: GKI di Tengah Kepelbagaian Ajaran. Kelompok Kerja pembinaan GKI Jabar, Jakarta.
Sari, Timur Citra. 2004b. Sekte dan Bidah di dalam Hodos: GKI di Tengah Kepelbagaian Ajaran. Kelompok Kerja pembinaan GKI Jabar, Jakarta.
Darmaputera, Eka. 2005a. Sepuluh Perintah Allah - Museumkan Saja? Gloria Graffa, Yogyakarta.
Darmaputera, Eka. 2005b. Iman dan Tantangan Zaman. BPK Gunung Mulia, Jakarta
Jimenez, Jason. 2023. Hijacking Jesus: How Progressive Christians are Remaking Him and Taking Over His Church. Salem Books, USA.
King, Rebekka. 2023. The New Heretics: Skepticism, Secularism, and Progressive Christianity. New York University Press. USA.
Parr, Allen. 2023. Misled: 7 Lies That Distort the Gospel (And How You Can Discern the Truth). Nelson Books. USA.
Stovall, Dave. 2024. Losing My Faith in Progressive Christianity. Renew. USA.
Young, David. 2019. A Grand Illusion: How Progressive Christianity Undermines Biblical Faith. Renew. USA.
Weber, Katherine-Christian Post Reporter. 2012. “Rob Bell Tells How ‘Love Wins’ Led to Mars Hill”. https://www.christianpost.com/news/rob-bell-tells-how-love-wins-led-to-mars-hill-departure.html