Gretta Vosper menyebut dirinya sebagai “minister, author, atheist” dalam website-nya. Ia melayani sebagai seorang pendeta di West Hill United Church, Canada. Menurutnya, gereja tersebut adalah gereja yang paling progresif. Pada tahun 2013, Gretta Vosper mendeklarasikan dirinya sebagai seorang ateis. United Church menolak istilah ateis, tetapi menerima istilah nonteis (non-theist) bagi pendetanya. Padahal, kedua istilah itu memiliki makna yang sama. Bagi Vosper yang ateis, Allah itu seharusnya dipahami secara metafora. Allah, tidak lain tidak kurang, adalah kebajikan, belas kasih, dan keadilan itu sendiri.
In 2013, I deconstructed the concept of god in a Sunday sermon; few were surprised. For the most part, my denomination – one I consider to be the most progressive in the world – tolerated me as I continued to irritate it toward publicly stating what so many who lead within it believe: god is a metaphor for goodness and love lived out with compassion and justice, no more and no less. They became less tolerant when I began to use the term “atheist” to describe myself despite the fact that many of my colleagues identify as nontheists, a term which, of course, means exactly the same thing. (https://www.grettavosper.ca/about/little-bit/)
Dengan pengakuan ini, jelas Gretta Vosper tidak lagi percaya kepada Allah yang berpribadi, supernatural, transenden, dan terpisah dari ciptaan. Allah yang tidak berpribadi (nonpersonal) dalam pemahaman Vosper, menyerupai pandangan New Age Movement. Pernyataan Gretta Vosper yang mengaku dirinya ateis tentu menimbulkan kontroversi di kalangan United Church yang masih percaya Allah Tritunggal. Walaupun memiliki perbedaan keyakinan dari denominasi gereja yang menahbiskannya, Vosper menolak mengundurkan diri, bahkan melakukan perlawanan terhadap General Council of United Church, yang berencana memberhentikannya.
Apa yang terjadi antara Gretta Vosper dan General Council of United Church layak kita jadikan bahan studi kasus. Kita perlu menyoroti kasus ini dari sisi etika, moralitas, norma moral, dan kode etik, dalam kaitannya dengan nilai-nilai dan integritas seorang pendeta Kristen dan institusi gereja. Setiap kegiatan yang dianggap manusiawi tidak lolos dari penilaian etis/moral. Otonomi setiap bidang kehidupan manusia, termasuk kehidupan beragama, bukan otonomi mutlak. Kegiatan kehidupan agama pun harus sejalan dengan kaidah agama yang dianutnya. Ini disebut dengan hukum moral. Setiap kegiatan dibatasi oleh hukum etika dan moral.
Otonomi pelbagai bidang kehidupan dan kegiatan manusia wajib diakui dan dihargai. Akan tetapi, tidak dapat disangkal, kegiatan manusia di bidang apa saja—sejauh kegiatan itu ingin dianggap manusiawi—tidak lolos dari penilaian etis/moral. Oleh karena itu, selain memperhitungkan hukum yang berlaku bagi tiap bidang, pelaku wajib mempertimbangkan hukum yang berlaku bagi tiap kegiatan yang patut disebut kegiatan manusiawi. Hukum itu adalah hukum etika. Selanjutnya, orang yang beragama wajib menelaah sejauh mana kegiatan yang ia lakukan sejalan dengan kaidah agamanya. Kaidah itu adalah hukum moral. Jadi kegiatan manusia di bidang apa pun takluk kepada hukum etika dan moral yang dianuti. Otonomi bidang—bidang kehidupan bukan otonomi mutlak. Ia dibatasi oleh hukum etika dan moral (Riberu, 1994. 35– 36).
Pedoman Kehidupan Beretika
Jadi, kebebasan apa pun, termasuk kebebasan akademik, yang diklaim oleh para akademisi, tetap memiliki batasan. Ada dimensi etik yang menyertai kebebasan akademik dan kesadaran untuk bertanggung jawab secara etika. Dalam menilai sepak terjang seseorang, tentu kita harus memiliki pedoman untuk menilainya. Saya mengutip definisi etika, moral, norma moral, dan moralitas dari diktat Dasar Etika Bisnis: Pedoman Perilaku dalam Berbisnis, yang ditulis oleh Dr. J. Riberu, yang menjadi buku pegangan semasa kuliah:
Etika adalah jumlah pedoman baik dan buruk perilaku manusia, yang disusun berdasarkan telaah nalar/akal sehat. Sedangkan, definisi moral adalah jumlah pedoman baik dan buruk perilaku manusia, yang disusun berdasarkan telaah wahyu yang diyakini, atau dengan kata lain yang diajarkan oleh agama masing-masing (1994, 17).
Norma moral adalah pedoman perilaku berdasarkan telaahan isi wahyu yang diyakini dan dianuti. Tiap wahyu memiliki ajaran dogmatik (yang harus diimani, dipercaya) dan ajaran moral (yang harus dilakukan/tidak dilakukan). Norma moral adalah pedoman perilaku berdasarkan ajaran moral agama tertentu (1994, 19). Moralitas adalah kadar ketaatan kepada pedoman moral yang dibuktikan seseorang di dalam hidupnya. Seorang Muslim yang berpegang kepada ajaran moralnya, demikian pula seorang Kristen, disebut orang bermoral, atau moralitasnya tinggi (1994, 18).
Kode etik adalah rumus singkat singkat pedoman perilaku yang dituntut dalam lingkup pekerjaan/instansi/ikatan kerja tertentu. Kode etik menentukan apa yang harus dilakukan, apa yang tidak boleh di perbuat (1994,15).
Inti kesadaran moral adalah perasaan, kesadaran bahwa manusia bertanggung jawab kepada Pencipta tentang ada dan keberadaannya, kehidupan dan penghidupannya, kegiatan dan kelalaiannya kepada Pencipta … Pengakuan kedaulatan Tuhan diungkapkan dengan mempertanggungjawabkan semua kegiatannya (1994, 43–44).
Integritas dan Nilai-Nilai
Berbicara mengenai etika, moral, moralitas, dan norma moral, berarti kita harus membicarakan juga integritas dan nilai-nilai (value). Integritas sangat berkaitan dengan keutuhan dalam seluruh aspek kehidupan kita, khususnya antara perkataan dan perbuatan, yaitu menyatunya ucapan dan tindakan. Definisi integritas adalah:
Integritas dimengerti sebagai “wholeness, completeness, entirety, unified”. Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dalam seluruh aspek hidup, khususnya antara perkataan dan perbuatan. Beberapa kamus mendefinisikan integritas sebagai, “the condition of having no part taken away” atau “the character of uncorrupted virtue.” Yakobus memberikan definisi yang senada. Orang yang berintegritas adalah orang yang “mature and complete, not lacking anything” (Yakobus 1:4).
Iman dan perbuatannya menyatu. Bahkan dari perbuatannya, orang dapat melihat imannya (Yakobus 2:8)
… Integritas adalah siapa kita sesungguhnya (Senjaya, 2004, 63, 64).
Integritas artinya yang dikatakan sesuai dengan yang dilakukan (Darmaputera, 2005c, 63).
Menyatunya ucapan dan tindakan. Integritas. Kredibilitas (2005c, 69).
Integrity has the same Latin root as integration: integer, meaning whole, complete (Henessy, et al, 1995, 167).
Integritas sendiri adalah integrasi antara etika dan moralitas (Senjaya, 2004, 65).
Integrity can mean a state of wholeness, of completeness … we are upright, honest and sincere. We can be trusted because there is a consistency of word, character, and action (Lamb, 2006,18).
We act in line with our principles and beliefs. If we lack integrity, by definition, we lack moral intelligence (Lennick dan Kiel, 2008, 7).
Keeping promises is a hallmark of integrity because it demonstrates that we can be trusted to do what we say we will do (Lennick dan Kiel, 2008, 89).
Integritas menyangkut perilaku manusia. Manusia yang tidak berintegritas adalah manusia yang tidak dapat dipercaya kata-katanya. Senjaya mengutip Warren Wiersbe, “Orang yang tidak berintegritas adalah orang yang sedang mengalami dekadensi moral dan spiritual” (2004, 68). Pdt. Eka Darmaputera menyatakan dengan tegas,
Tapi tahukah Anda, manusia yang paling hina dari semua? Ia adalah orang yang tanpa integritas! Orang yang tidak bisa dihargai kata-katanya! Orang-orang semacam ini tidak pantas menerima respek apa pun! Dan dari siapa pun! (2005c, 64)
Pertama-tama dan paling utama ialah, seorang pemimpin yang murni dan tulus hatinya. A man of the heart. Punya integritas moral yang tinggi. A man with integrity. (2005d, 66).
Orang Kristen harus mementingkan integritas, kredibilitas. Biarpun tidak kaya atau tidak berkuasa, tetapi bisa dipercaya. Orang masih respek. (2005e, 124)
Satu hal lagi yang tak kalah pentingnya selain integritas adalah nilai-nilai (values). Nilai-nilai ini memberitahu kita untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Nilai-nilai ini memampukan akal budi kita untuk membedakan apa yang harus dilakukan atau tidak. Jika institusi mempunyai nilai-nilai yang jelas, tidak diperlukan pengarahan yang terus-menerus dari otoritas pimpinan dalam berperilaku. James M. Kouzes dan Barry Z. Posner menulis dalam buku Credibility: How Leaders Gain and Lose It, Why People Demand It,
“Values inform us what to do and what not to do … Values enable people to know in their own minds what to do and what not to do. When values are clear, they do not have to rely upon direction from someone in authority … Values then, are beliefs about what means and ends are desirable or undesirable, preferable, or not preferable” (Kouzes dan Posner, 1993, 60, 61, 62).
Kasus Gretta Vosper
Gretta Vosper–dengan mendeklarasikan dirinya sebagai seorang ateis–membawa konsekuensi bagi dirinya. Deklarasinya telah melanggar janji pengakuan iman percayanya kepada Allah Tritunggal, yang diucapkannya saat ditahbiskan sebagai pendeta pada tahun 1993. General Council of United Church memberikan otoritas kepada the Toronto Conference of United Church of Canada untuk mengevaluasi apakah Gretta Vosper masih layak untuk dipertahankan sebagai pendeta di United Church. Toronto Conference Committee, yang terdiri dari 24 anggota melakukan interview terhadap Gretta Vosper mengenai komitmen yang pernah diucapkannya, saat ditahbiskan sebagai pendeta United Church, “Do you believe in God: Father, Son, and Holy Spirit, and do you commit yourself anew to God?” Vosper menjawab bahwa ia tidak percaya lagi kepada Allah Tritunggal, dan tidak lagi menyebut nama “Allah”.
Vosper told the interview committee that she does not believe in a Trinitarian God or a supernatural god. She said love is the most sacred value and that she had stopped using the word “God” because it was a barrier to participation in the church (https://broadview.org/united-church-committee-finds-atheist-minister-not-suitable/).
Gretta Vosper menolak untuk mengafirmasi kembali janji saat penahbisannya sebagai pendeta United Church. Akhirnya, Toronto Conference memutuskan, Gretta Vosper tidak lagi seiring dan sejalan dengan doktrin United Church of Canada, dan tidak layak lagi menjadi pendeta di United Church.
Toronto Conference’s 24-member interview committee decided in 2016 that she was no longer in “essential agreement” with The United Church of Canada statement of doctrine and was “unwilling and unable” to reaffirm the vows she made when ordained in 1993. They found her “unsuitable” for United Church ministry. (https://broadview.org/united-church-committee-finds-atheist-minister-not-suitable/).
Pada September 2016, Toronto Conference menyampaikan laporan setebal 36 halaman, yang memutuskan bahwa Gretta Vosper tidak layak untuk menjadi pendeta, karena ketidakpercayaan Vosper terhadap Allah, Tuhan Yesus, dan Roh Kudus. “In September 2016, the Toronto Conference released a thirty-nine pages report concluding that Vosper was not suitable to continue in ordained ministry based on her disbelief in ‘God, Jesus Christ, or the Holy Spirit.’” (Dempsey and Rankin 2016) (King, 2023, 201).
Sesuai dengan keputusan tersebut, Toronto Conference akan meminta General Council untuk mengadakan sidang untuk mempertimbangkan pemberhentian Gretta Vosper sebagai pendeta. Jika sidang menerima kesimpulan komite tersebut, Vosper akan diberhentikan dari jabatannya sebagai pendeta di West Hill United Church.
The committee recommended that Conference ask the church’s General Council to call a formal hearing to consider placing the name of Rev. Gretta Vospers on the Discontinued Service List (Disciplinary). If that hearing accepts the committee’s conclusion, Vosper will no longer be able to work as a United Church minister, essentially firing her from her position at West Hill United in Toronto. (https://broadview.org/united-church-committee-finds-atheist-minister-not-suitable/).
Vosper menolak keputusan Toronto Conference. Para simpatisannya berdiri di belakang Vosper, melakukan penggalangan dana untuk biaya pengacara hukum bagi Vosper dalam menghadapi Toronto Conference dan General Council United Church. Upaya untuk menghindari sidang bidah (heresy trial) dilakukan. Masing-masing pengacara dari Vosper, West Hill United Chuch dan Toronto Conference bertemu untuk menyelesaikan perselisihan ini. Akhirnya, kesepakatan tercapai. The Toronto Conference memutuskan bahwa Vosper tetap boleh melayani sebagai pendeta di lingkungan United Church.
Tidak ada penjelasan terperinci mengenai proses penyelesaian perselisihan ini. Diduga karena faktor finansial yang akan menjadi beban berat bagi pihak-pihak yang bersengketa, sehingga perselisihan ini diselesaikan dengan musyawarah, tanpa perlu dilakukan persidangan ajaran sesat (heresy trial) di lingkup yang lebih luas. Hal ini diindikasikan oleh pernyataan penasihat hukum Vosper, Julian Falconer, “Both parties took a long look at the cost-benefit at running a heresy trial and whether it was good for anyone [and] the results speak for themselves,” Vosper’s lawyer, Julian Falconer, told the Canadian Press (https://broadview.org/gretta-vosper_united_church/).
Ironisnya, kemenangan ateisme ini dirayakan di gereja oleh Vosper bersama pengikutnya di hari Minggu, di West Hill United Church. Gretta Vosper men-tweet undangannya pada 8 November 2018, “There will cake! Inviting any in the vicinity to join us @WestHillUC this Sunday for cake & happy dancing! We’ll also be reaffirming the importance of the work we & @UnitedChurchCda do in this rapidly changing world” (King, 2023, 199). Tampaknya, paham ateis bertumbuh subur di dalam gereja. Alkitab tidak lagi menjadi landasan dan norma moral yang menuntun dalam membuat keputusan etis dan berperilaku etis. Apakah gereja yang demikian masih layak disebut gereja?
Tanggung Jawab Moral
Penyelesaian yang demikian tentu menimbulkan pertanyaan, di mana tanggung jawab moral Toronto Conference dan General Council United Church Canada terhadap Tuhan dan anggota gerejanya? Integritas dan kredibilitas United Church menjadi taruhan atas keputusan kasus ini. Pelanggaran tanpa adanya tindakan disipliner menunjukkan terjadinya keruntuhan budaya etika dan moral, yang pada akhirnya akan menghancurkan institusi itu sendiri. “Rules without enforcement allow the ethical culture to slip, often to the point of collapse. Rules must be enforced swiftly, unequivocally, and in egalitarian fashion” (Jennings, 2006, 51).
Menyadari dampak yang akan timbul, sehari setelah keputusan Toronto Conference, United Church of Canada mengumumkan bahwa keputusan tersebut tidak akan mengubah iman kepercayaan United Church of Canada. “The next day, the United Chuch of Canada posted an announcement to its website stating, ‘This does not alter in any way the belief of the United Church of Canada’” (King, 2023, 201, 202). Apakah pernyataan ini sekedar untuk menenangkan jemaatnya dan mencegah eksodus anggotanya dari United Church?
Jika ditinjau dari sudut pandang moralitas, jelas Gretta Vosper tidak memiliki integritas dan nilai-nilai, karena mengklaim dirinya ateis, yang ia tahu bertentangan atau bertolak belakang dengan doktrin atau core value gerejanya, yang masih memercayai Allah Tritunggal. Kita tahu integritas itu sangat penting, terutama bagi seorang pendeta. “The personal integrity of pastor is important, because it affects credibility. As the ‘medium of the message,’ the life of the prophet of God must point to the truth of the gospel” (Trull dan Carter, 2004, 200). Jelas, Gretta Vosper tidak peduli dengan value atau nilai-nilai yang diyakini denominasi gerejanya. Tanpa berpegang dan menghidupi nilai-nilai, etika, moral institusi tempat ia bernaung, akan menjadikannya seseorang yang destruktif. “Values are foundational to leadership. We could not have a complete developmental process, unless we incorporated an understanding of core values into that mix” (Ford, 1997, 133).
Saya lebih menghargai Richard Dawkins, Sam Harris, Christopher Hitchens, dan Daniel Dennett, yang mengaku diri mereka sebagai ateis, yang tidak percaya kepada Allah yang transeden. Walaupun saya tidak memiliki pandangan yang sama dengan para new atheist ini, setidaknya mereka memiliki integritas dengan keyakinan dan nilai-nilai ateis yang diperjuangkannya. Sedangkan, Gretta Vosper mengklaim dirinya ateis, tetapi menolak untuk melepaskan jabatannya sebagai pendeta dari denominasi gerejanya. Jelas ia tidak memiliki integritas pribadi, yang seharusnya dimiliki oleh sorang pemimpin. Pdt. Eka Darmaputera menggambarkan orang yang tidak memiliki integritas sebagai “Orang yang tidak dapat dihargai kata-katanya! Orang-orang semacam ini tidak pantas menerima respek apa pun! Dan dari siapa pun!”
Di dunia postmodern ini, etika, moral yang serba relatif akan menimbulkan kemerosotan moral dan etika. Dekadensi moral dan spiritualitas akan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Kemajuan ilmu (science) membawa pengetahuan dan teknologi terus berkembang, tetapi tidak ada perkembangan moralitas. Karena tidak lagi percaya kepada Allah, maka pedoman etika, moral akan bersumber dari diri sendiri. Tidak lagi terikat dengan normal kaidah agama. Inilah yang terjadi pada diri Gretta Vosper, dengan agama barunya, yaitu ateisme. Chris Hedges, dalam bukunya, When Atheism Becomes Religion: America’s New Fundamentalist, menulis, “There is nothing in human nature or human history to support the idea that we morally advancing as species or that we will overcome the flaws of human nature. We progress technologically and scientifically, but not morally” (Hedges, 2009, 5).
Memelihara Integritas
Organisasi apa pun, termasuk bisnis, akan selalu menuntut baik pimpinan dan anggotanya untuk bertindak dengan integritas. Demikian pula, gereja harus dapat memastikan bahwa pendetanya memiliki integritas. Jemaat menghendaki pendetanya memiliki keutuhan (pribadi yang utuh) dalam seluruh aspek kehidupan. Ada keutuhan antara perkataan dan perbuatan. Jika integritas ini lenyap, kehidupan gereja berada dalam kondisi krisis.
Both the nation and corporate world need the assurance that their leaders act with integrity. Yet this is even truer for Christians. Christian and churches need to be assured that their minister have integrity. A minister’s ministry is built on the trust that people have in his or her spiritual and ethical wholeness. If integrity is missing, the ministry is in danger (Trull dan Carter, 2004, 66).
Jeff Immelt, CEO General Electric 2001–2017, yang menggantikan Jack Welch, CEO General Electric sebelumnya sangat menekankan pentingnya integritas dalam perusahaan General Electric. “Continuing Welch’s legacy of integrity, Immelt keeps reinforcing a commitment that GE must perform with the highest levels of integrity and compliance everywhere in the world” (Tichy dan Bennis, 2007, 160). Tidak ada ada toleransi sama sekali terhadap pelanggaran integritas, terutama dalam lingkaran inti manajemen.
GE mempunyai nilai-nilai, kebijakan, dan peraturan yang harus dihidupi oleh seluruh karyawan. Karyawan yang diberhentikan dapat dipastikan berkaitan dengan pelanggaran terhadap integritas. “Immelt has zero tolerance for an integrity violation made by an employee, particularly someone in his management circle ... Under Immelt, integrity became a reason for an employee to leave the company” (Magee, 2009, 136, 137). Integritas merupakan sebuah nilai yang diperlukan oleh setiap pemimpin yang otentik. “Integrity is the one value that is required in every authentic leader” (George, 2003, 20).
Integritas pendeta sangat penting, karena memengaruhi kredibilitas yang bersangkutan maupun denominasi gereja tempat ia bernaung. Masyarakat akan menilai sebuah institusi apa pun, termasuk denominasi gereja melalui integritas individu dalam institusi tersebut. Apa yang tampak pada perilaku individu dalam institusi, itulah yang mencerminkan image sebuah institusi. Denominasi gereja seperti United Church yang tidak melakukan tindakan disipliner terhadap pendetanya, yang mendeklarasikan dirinya sebagai ateis, akan berdampak buruk terhadap image denominasi gereja itu sendiri. Pengakuan iman (statement of faith) mereka menjadi tidak lebih dari sebuah slogan kosong. “Belief systems without action simply become empty slogans. The corporate world is famous for its many empty slogans” (Want, 2006, 42).
Bila pemimpin gagal hidup berintegritas dalam segala aspek kehidupannya, sesuai dengan iman gerejanya, akan berdampak negatif tidak saja bagi yang bersangkutan, tetapi juga institusinya. Perilaku ini akan meracuni kehidupan komunitas, menghancurkan kepercayaan, menghancurkan misi, dan yang terutama mengkhianati Injil Kristus, serta melecehkan Tuhan yang seharusnya disembah dan dimuliakan. “When leaders at any level fail to live with integrity, the fallout is deadly serious. It poisons the community, destroy trust, torpedoes a coherent and unified mission and, most seriously of all, betrays the course of Christ’s gospel and dishonor the God whom we serve” (Lamb, 2006, 20).
Akhir Gereja Kekristenan Progresif
Banyak gereja yang mengalami kehancuran akibat moralitas pemimpin yang tidak lagi berpegang pada kebenaran Alkitab, yaitu gereja-gereja yang berpaling dari Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat dunia dan menolak mengakui Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja. Gereja yang menganut paham Kekristenan Progresif akan mengakibatkan kemerosotan kuantitas dan kualitas anggota gerejanya.
Semua etika dimulai dan dilandasi oleh agama. Hukum moral berkaitan dengan ajaran agama. Oleh sebab itu, kita harus memutuskan hukum moral apa yang dapat kita terima atau tolak. Sebagai manusia yang beretika, ada tanggung jawab pribadi terhadap kebebasan hati nurani. Etika dan moral yang diekspresikan dalam aturan perlu ditegakkan, untuk mencegah terjadinya pelanggaran etika dan moral. Etika dan moral akan memotivasi kita untuk selalu melakukan apa yang benar di mata Tuhan.
All ethics begin with religion. We must determine what moral laws to accept and reject. We must distinguish between real and false prophets. This is not religion of authority, magic, taboo. This is religion built on ethic of personal responsibility and freedom of conscience. Where rigid, formal obedience to law allows the adherent to avoid ethical choice, the truly moral life grapples with inscrutable call to do what is right … (Hedges, 2009,92).
Berikut ini merupakan salah satu kisah kehancuran gereja Progresif, yaitu Gereja GracePointe, di Nashville, Amerika yang ditinggalkan anggotanya.
In 2015, the senior pastor of GracePointe Church in the upscale, Nashville suburb of Franklin announced that the church was going progressive, particularly on matter of sexuality. The move was celebrated by progressive everywhere – it was treated as though it were a turning point in evangelicalism. Time magazine even got in on the act, identifying GracePointe as something of a role model for other evangelical churches.
But things didn’t go so well for the church. Soon after the announcement, attendance at GracePointe began to drop sharply. When GrandPointe announced their change, they were running nearly one thousand people on Sundays. Within a few months, they lost half their membership. One visitor two years later said he couldn’t count two hundred and fifty people who were left. Contributions also dropped sharply as members left in search for more biblical expressions of the faith. Soon, GracePointe was laying off staff. Then, a little over a year ago, the church was forced to put its building on the market due to lack of funds. They moved to Nashville, where they now share a building with another progressive congregation. Then, in late 2018, the senior pastor who brought the changes to GracePointe announced his own departure. It’s unclear what the future of GracePointe will be, but progressive churches like this rarely grow – and sometimes crash like this one did (Young, 2019, 156).
Sebelum Gereja GracePointe berpaling ke Kekristenan Progresif, ibadah Minggunya dihadiri oleh hampir 1.000 jemaat. Kemudian, pada tahun 2015, pendeta senior gereja membawa gereja tersebut ke arah Kekristenan Progresif. Beberapa bulan kemudian, terjadi kemerosotan pengunjung gereja menjadi sekitar separuhnya. Seorang jemaat yang beribadah dua tahun kemudian mendapati, jemaat yang masih beribadah di gereja tersebut tidak sampai 250 orang. Sejak perubahan arah teologi menuju ke Kekristenan Progresif, gereja tersbut telah kehilangan jemaat sekitar 75%. Denominasi gereja apa pun, yang pemimpinnya tidak memiliki integritas dalam nilai-nilai, etika, dan moralitas yang sesuai dengan kebenaran firman Tuhan akan mengalami krisis kepercayaan, yang membawa kehancuran.
Krisis etika dan moral akan berdampak pula terhadap keuangan, seperti yang dialami GracePointe Church. “In a frighteningly real sense, no organizations far from the edge of meltdown: ethical collapse followed by financial ruin” (Cantrell dan Lucas, 2007, 1). Merosotnya jumlah anggota berdampak pula terhadap persembahan. Karena mengalami kesulitan keuangan, akhirnya gedung Gereja GracePointe harus dijual, dan mereka harus pindah ke gedung lain, berbagi gedung ibadah bersama gereja Kekristenan Progresif lainnya. Akhirnya, pendeta senior yang membawa perubahan ke Kekristenan Progresif itu pun meninggalkan gereja yang sedang sekarat (dying church) tersebut.
David Young mengutip Ed Stetzer dalam sebuah artikel di The Washington Post (2017) yang menyatakan, jika Protestan Liberal tidak berubah, usia denominasi Liberal hanya tinggal 23 tahun lagi. Jadi, diperkirakan tahun 2039, denominasi Liberal akan punah di Amerika. Memang, masa depan teologi Progresif suram.
As author Ed Stetzer notes in an article in The Washington Post, if liberal Protestantism doesn’t change its course, it has only 23 years left. Attendance in mainline – that is, Progressive – denominations, has dropped by nearly two-third since 1972. And there is no evidence that this decline is about to change ... The future of theological Progressivism is dim, as well it should be (Young, 2017, 136).
Kekristenan Progresif mengalami krisis moral. Kesetiaan terhadap ajaran sehat berkaitan dengan etika dan moral, karena keduanya dibangun atas fondasi ajaran doktrin dan dogma kebenaran firman Tuhan. Krisis moral terjadi ketika gereja sudah tidak taat dan tidak lagi menghidupi firman Tuhan. Dampaknya, anggota gereja akan segera meninggalkan gereja yang tidak memiliki integritas ini.
Pengakuan Iman GKI
Pengakuan Iman GKI yang tertera pada Pasal 3, Tata Dasar, Tata Gereja GKI (2009) menunjukkan identitas GKI. Pengakuan Iman ini juga merupakan core value dari GKI itu sendiri. Adanya Pengakuan Iman ini akan memudahkan kita selaku jemaat GKI untuk memeriksa diri kita, apakah keyakinan iman, etika, normal moral, moralitas, dan integritas kita selaras, seiring, dan sejalan dengannya.
GKI mempunyai Pengakuan Iman (statement of faith) seperti ini,
GKI mengaku imannya bahwa Yesus Kristus adalah:
a. Tuhan dan Juru Selamat dunia, Sumber kebenaran dan hidup.
b. Kepala Gereja, yang mendirikan gereja dan yang memanggil gereja untuk hidup dalam iman dan misinya
1. GKI mengaku imannya bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah firman Allah, yang menjadi dasar dan norma satu-satunya bagi kehidupan gereja.
2. GKI, dalam persekutuan dengan Gereja Tuhan Yesus Kristus di segala abad dan tempat menerima Pengakuan Iman Rasuli (Lampiran 1), Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel (Lampiran 2), dan Pengakuan Iman Athanasius (Lampiran 3).
3. GKI, dalam ikatan dengan tradisi Reformasi, menerima Katekismus Heidelberg.
4. GKI, dalam persekutuan dengan gereja-gereja di Indonesia, menerima Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) (Lampiran 4).
Pengakuan Iman ini merupakan core values dari gereja. Nilai-nilai yang kita hidupi harus ditopang oleh fondasi iman kepercayaan kita. Inilah yang akan membentuk perilaku kita. “Our values are based on beliefs and determine our attitude” (Lennick dan Kiel, 2008, xxii). Nilai-nilai dapat juga diibaratkan sebagai aturan lalu lintas yang menunjukkan arah tujuan bagi pemimpin dan institusi, kemudi kapal yang mengarahkan kapal menuju tujuan. “Values, very simply, can be thought of as the ‘rules of the road.’ They tell us and others what is important to us – as leaders, as an organization, and as individuals. They are the rudders that steer the ship” (Dungy, 2010, 38).
Sebagai jemaat GKI, Pengakuan Iman tersebut di atas harus menjadi nilai-nilai yang membentuk kehidupan kita, baik di ruang publik maupun pribadi. “The value system that we profess shapes every area of our lives, public, and private” (Lamb, 2006,18). Dengan memahami nilai-nilai pokok (core values), kita semuanya sebagai jemaat GKI diingatkan untuk hidup seturut dengan nilai-nilai utama tersebut. “Clearly, identifying a handful of core values and fighting out ways to hold people accountable for living in concert with those values is crucial” (Barna, 2009, 39).
Pemimpin harus selalu mengingatkan nilai-nilai inti institusi kepada anggotanya. Nilai-nilai tersebut jangan sekedar “lip service”, tetapi harus dihormati dan dihidupi. Dan, nilai-nilai ini harus menjadi penentu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. “Managers should state without equivocation what company values are and that those values are honored, always. The values give the means to the end ... Values determine what we will and will not do ...” (Jennings, 2006, 45).
Pdt. Eka Darmaputera, dua puluh tahun yang lalu menulis, “Tetapi, yang sering menyedihkan adalah, kita tidak mengenai identitas kita sendiri. Kalau ditanya apa sih identitas GKI itu sebetulnya? Jawabnya ‘Tidak tahu.’ Dan tanpa merasa ada masalah. Ini bukan hanya ada pada Anda, tetapi banyak pendeta GKI juga begitu. Mereka malah bertanya, apa sih identitas GKI?” (2004b, 20). Sekarang, saya yakin, situasinya berbeda. Jika ditanya apa identitas GKI, apa pengakuan iman GKI, atau apa core value (nilai-nilai inti) GKI, pasti semua anggota majelis jemaat akan menjawab dengan mengacu kepada Pengakuan Iman GKI, yang tertera pada Tata Dasar, Tata Gereja GKI. Pengakuan Iman GKI ini menjadi landasan etika, moral, moralitas, norma moral bagi kehidupan kita, sebagai jemaat GKI.
Seandainya di GKI ada pendeta yang mengaku dirinya ateis, seperti yang dilakukan oleh Gretta Vosper, berarti secara etika dan moral sudah melanggar Pengakuan Iman GKI. Hal ini mungkin tidak akan terjadi. Namun, jika terjadi, hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap Pengakuan Iman GKI, yang juga disebut sebagai identitas GKI. Yang pasti, akan dilakukan pendisplinan, yang disebut sebagai penggembalaan khusus. Jika tidak bertobat, yang bersangkutan akan diberhentikan. Di GKI ada standar moral, yaitu Pengakuan Iman GKI, untuk menilai apakah seseorang melanggar ajaran GKI atau tidak. Pengakuan Iman GKI merupakan nilai-nilai yang memandu kita untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, agar tidak mencederai core value iman kita.
Hidup Berintegritas
Kita hidup di tengah dunia yang mempertuhankan relativisme, ketika etika, moral, norma moral, moralitas, kode etik tidak bersifat mutlak. Semuanya dapat diintepretasikan sesuai dengan selera siapa pun. “Ethics are relative to man’s interpretation of them in given situation ... ethical relativism is generally accepted morality for Humanists” (Noebel, 2001, 88). Dengan merelatifkan etika, maka yang benar bisa menjadi salah, dan yang salah menjadi benar. Ketiadaan etika yang absolut akan menciptakan kekacauan dan konflik berlarut-larut di kehidupan institusi, termasuk gereja. Dengan ketiadaan etika, moral, dan integritas, tidak mungkin dapat diwujudkan perilaku yang benar, sesuai dengan nilai-nilai. “The concepts of ethics, honor, and integrity all have to do with right behavior according to our values” (Cohen, 2007, 120).
Pengakuan Iman pada butir 2, “GKI pada mengaku imannya bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah firman Allah, yang menjadi dasar dan norma satu-satunya bagi kehidupan gereja,” menuntut kita untuk menjalani kehidupan dengan etika, norma moral, dan moralitas yang berdasarkan Alkitab. Ya, harus ada integritas, yang menunjukkan perilaku kita didasari Alkitab. “This is the primary moral competency that encompasses the others. Acting consistently with principles, values, and beliefs means being purposeful in everything you do and say, Integrity is authenticity. It is saying what you stand for and standing for what you say” (Lennick dan Kiel, 2008, 80).
Tidak mungkin berbicara etika tanpa melibatkan Tuhan, karena tanpa Tuhan akan terjadi dekadensi moral. “Apart from God, a theory of ethics, a method of telling right from wrong, is impossible . . . rejecting God regularly leads to ethical corruption” (Frame, 2015, 303).
Semasa hidupnya, Pdt. Eka Darmaputera adalah dosen etika di suatu institusi pendidikan teologi. Berikut ini kutipan dari buku-buku Pdt. Eka Darmaputera, yang mengingatkan kita yang adalah tubuh Kristus, untuk hidup dengan etika, moralitas, norma moral, dan moralitas yang memuliakan Tuhan, dan bertanggung jawab terhadap Tuhan dan jemaatnya. Kelak, kita semua akan mempertanggungjawabkan seluruh kehidupan kita pada saat penghakiman, ketika Tuhan kita, Yesus Kristus, datang kembali. Waspada selalu terhadap berbagai ajaran sesat!
Mengizinkan konsep-konsep Allah yang tidak alkitabiah itu merayap masuk ke dalam pemahaman kita, bagi saya adalah penistaan dan pencemaran kekudusan serta integritas Allah. (2004, 59) Memuliakan Dia dengan “doktrin” dan “ajaran” yang benar. Ini jangan Anda sepelekan. Sebab doktrin yang salah serta ajaran yang sesat adalah pencemaran, penistaan, serta penghujatan yang serius terhadap kekudusan nama Tuhan! (2004, 56).
Yang membuat ia “baik atau “jahat” adalah moralitas di baliknya. Dengan perkataan lain, “motivasinya”. (2005d, 29).
Wah, berapa gelintir pemimpin, atau pendeta, atau penginjil sekarang ini yang demikian? Yang dambaan utamanya adalah menjadi “hamba yang setia dan dapat dipercaya?” Yang ucapan-ucapannya menyatu dengan tindakannya? Yang tak mengalami kepribadian-belah baik sewaktu di mimbar maupun ketika berada di mana saja? (2005d, 76).
Masih ingatkah Anda akan peringatan Yesus supaya berhati-hati terhadap para pemimpin, yang kelihatannya saja “domba” tapi sebenarnya “serigala”? (2005d, 64).
Pengetahuan mereka dan komitmen mereka akan ajaran yang benar itulah yang memampukan mereka menelanjangi para serigala yang berbulu domba, dan “mendapati mereka pendusta” (2002, 41).
Terutama melawan musuh-musuh dalam selimut, yang terus menerus berusaha merongrong gereja dari dalam (2005f, 37).
“Menguduskan nama Tuhan” mesti dihayati, dihidupi, dan didemonstrasikan secara fungsional. Setiap saat, di setiap sudut kehidupan, di tempat-tempat ibadah maupun di tengah-tengah dunia ramai (2004, 56). Iman kita dan seluruh hidup kita semoga menguduskan nama-Nya. Kita memercayai yang benar dengan cara yang benar. Berada di pihak yang membela yang benar. Peka terhadap kepalsuan. Bila perlu, ikhlas dipaku demi kebenaran (2004, 61).
Di situ ada unsur kesengajaan mengatakan sesuatu yang tidak benar. Di situ ada maksud dan tujuan yang destruktif; niat untuk menghancurkan. Dan di situ ada bentuk penipuan yang sedemikian pintarnya, membuat korban sama sekali tidak menyadari bahwa sebenarnya ia sedang didustai atau diperdaya (2005c, 230).
Tapi “dusta”, memang benar, ada macam-macam bentuknya. Bisa dilakukan dengan cara mengatakan yang tidak benar. Sebaliknya bisa terjadi dalam bentuk bungkam seribu bahasa, sengaja tak mau mengungkapkan kebenaran. Tapi menyampaikan hanya “setengah” kebenaran. Berbeda-beda. Walau dalam satu hal ini, semuanya sama, yaitu bahwa setiap “dusta” selalu dilakukan dengan sadar dan sengaja (2005c, 228, 229).
Hidup yang berkemenangan menuntut konsistensi: Kristus menguasai seluruh sisi kehidupan kita, atau tidak sama sekali. Tidak ada tempat bagi mentalitas ganda atau bagi mereka yang bermuka dua ... Dualisme akan mengakibatkan kepribadian terbelah. Orang yang berkepribadian terbelah (split personality) pasti tidak sejahtera, dan mustahil berbahagia (2005b, 105).
Iblis akan menjungkirbalikkan kesadaran moral manusia. Yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Orang-orang Yahudi yang menyalibkan Yesus pasti justru merasa sedang mengemban tugas suci membela kebenaran. Sungguh mengerikan dunia ini, bila norma-norma kebenaran terbalik-balik seperti itu.” (2005b, 477).
Daftar Pustaka
Alkitab. 2023. Alkitab Terjemahan Baru Edisi Kedua. Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta.
Barna, George. 2009. Master Leaders: 30 Leadership Greats. 16 Keys to Success. One Amazing Conversation. Tyndale House Publishing, Inc., USA.
BPMS GKI. 2009. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia. PT. Adhitya Andrebina Agung, Jakarta.
Cantrell and Lucas. 2007. High-Performance Ethics: 10 Timeless principles for Next-Generation Leadership. Tyndale House Publishing, USA.
Cohen, William A. 2007. A Class with Drucker: The Lost Lessons of the World’s Greatest Management Teacher. Amacom, USA.
Darmaputera, Eka. 2002. Dengarlah yang Dikatakan Roh. Gloria Cyber Ministries. Yogyakarta.
Darmaputera, Eka. 2004a. Tuhan Ajarlah Kami Berdoa. Gloria Graffa, Yogyakarta.
Darmaputera, Eka. 2004b. Identitas GKI di dalam Hodos: GKI di Tengah Kepelbagaian Ajaran. Kelompok Kerja pembinaan GKI Jabar, Jakarta.
Darmaputera, Eka. 2005a. Menyembah dalam Roh dan Kebenaran: Khotbah-Khotbah tentang Kehidupan Beribadah dan Bergereja yang Kontekstual. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Darmaputera, Eka. 2005b. 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Darmaputera, Eka. 2005c. Sepuluh Perintah Allah – Museumkan Saja?: Sebuah Uraian Populer Tentang Relevansi Dasa Titah di Masa Kini. Gloria Graffa, Yogyakarta.
Darmaputera, Eka. 2005d. Kepemipinan dalam Perspektif Alkitab. Kairos Books, Yogyakarta.
Darmaputera, Eka. 2005e. Dengan Mata Menatap Yesus. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Darmaputera, Eka. 2005f. Tegak sebab Didirikan di Atas Batu. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Dungy, Tony. 2010. The Mentor Leader: Secrets to Building People and Teams that Win Consistency. Tyndele House Publishers, Inc, USA.
Ford, Leighton. 1997. “Helping Leaders” di dalam Leaders on Leadership: Wisdom Advice and Encouragement on the Art of Leading God’s People. Regal Books, USA.
George, Bill. 2003. Authentic Leadership: Rediscovering the Secrets to Creating Lasting Value. Jossey-Bass, USA.
Hedges, Chris. 2009. When Atheism Becomes Religion: America’s New Fundamentalists. Free Press, USA.
Hennessy, et al. 1995. “Managing toward the Millennium” di dalam Reflections on Leadership. John Willey & Son, Inc.,
Canada. Jennings, Marianne M. 2006. The Seven Signs of Ethical Collapse: How to Spot Moral Meltdowns in Companies ... Before It’s Too Late. St. Martin’s Press, New York, USA.
Lamb, Jonathan. 2006. Integrity: Leading with God Watching. Inter-Varsity Press, USA.
Lennick, Doug dan Kiel, Fred. 2007. Moral Intelligence: Enhancing Business Performance & Leadership Success. Wharton School Publishing, USA. Kouzes, James M, dan Posner, Barry Z. 1993. Credibility: How Leaders Gain and Lose It, Why People Demand It. Jossey Bass, USA.
Magee, David. 2009. Jeff Immelt and the New GE Way: Innovation, Transformation, and Winning in the 21st Century. McGraw-Hill, USA.
Milne, Mike. 2016. United Church Committee Find Atheist Minister “Not Suitable”. https://broadview.org/united-church-committee-finds-atheist-minister-not-suitable/.
Milne, Mike, 2019. Gretta Vosper Settlement Could Redefine United Church. https://broadview.org/gretta-vosper_united_church/.
Noebel, David A. 2001. The Battle for Truth: Defending the Christian Worldview in the Marketplace of Ideas. Harvest House Publisher, USA.
Riberu. J. 1994. Dasar-Dasar Etika Bisnis: Pedoman Perilaku dalam Berbisnis. Jakarta,
Luceat. Senjaya, 2004. Kepemimpinan Kristen: Menjadi Pemimpin Kristen yang Efektif di Tengah Tantangan Arus Zaman. Kairos Books, Yogyakarta.
Tichy Noel M. dan Bennis Warren G. 2007. Judgment: How Winning Leaders Make Great Calls. Penguin Group, USA.
Trull Joe E. dan Carter James E. 2004. Ministerial Ethics: Moral formation for Church Leaders. Baker Academic, USA.
Vosper, Gretta. 2016. A Little Bit About Me. https://www.grettavosper.ca/about/little-bit/.
Young, David. 2019. A Grand Illusion: How Progressive Christianity Undermines Biblical Faith. Renew, USA.
Want, Jerome. 2006. Corporate Culture: Illuminating the Black Hole: Key Strategies of High-Performing Business Cultures. St, Martin’s Press, New York.
*Penulis adalah anggota GKI Gading Serpong.