Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 8 Juni 2025
Bacaan Alkitab: Kejadian 11:1-9; Mazmur 104:24-34,35b; Kisah Para Rasul 2:1-21; Yohanes 14:8-17,25-27
Pada hari Pentakosta ini, kita membaca empat bagian Alkitab yang menyingkapkan dua kenyataan yang bertolak belakang: Babel yang memecah belah, dan Pentakosta yang menyatukan kembali. Di tengah kenyataan dunia yang makin individualistis dan terpecah, gereja diundang untuk menjadi tanda dari penyatuan itu—tanda yang konkret, termasuk melalui kesediaan memberi, berbagi, dan berkorban secara nyata, bahkan dalam bentuk persembahan.
Mari kita mulai dari Kejadian 11:1-9. Bangsa-bangsa saat itu bersatu, tetapi kesatuan mereka dibangun bukan untuk memuliakan Allah, melainkan untuk meninggikan nama mereka sendiri: “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama” (ayat 4). Ini adalah kesatuan semu, yang hanya kelihatan kuat dari luar, tetapi pada hakikatnya berdasar pada ego kolektif. Apa yang dilakukan Allah? Ia mengacaukan bahasa mereka, bukan karena Allah anti persatuan, melainkan karena kesatuan itu tidak dibangun atas dasar kehendak-Nya, melainkan kehendak manusia yang tamak dan ingin berkuasa. Akibatnya: manusia tersebar, saling tidak memahami, dan kehilangan misi yang sejati.
Bukankah itu yang sering terjadi dalam kehidupan umat Allah juga? Kita bisa berada dalam satu gereja, satu struktur, satu ruang ibadah, tetapi masing-masing masih bicara dalam “bahasanya sendiri”: bahasa gengsi, bahasa prestise, bahasa status sosial, bahkan bahasa kekikiran. Kita tidak sedang membangun Kerajaan Allah, melainkan menara Babel versi kekinian. “Engkau yang memberi makanan pada waktu yang tepat, yang membuka tangan-Mu dan semua kenyang oleh kebaikan” (ayat 27–28). Jadi, kita ini bukan pemilik. Kita adalah penatalayan, dan yang Allah kehendaki dari kita bukan hanya ucapan syukur, melainkan tindakan nyata: ikut menyuburkan kehidupan, memberi sebagaimana Allah telah memberi.
Ketika Roh Kudus dicurahkan, semua bangsa mendengar Injil dalam bahasanya masing-masing. Perhatikan: Allah tidak menghapus perbedaan, tetapi menyatukan melalui pemahaman. Di Babel, manusia diserakkan karena ingin membangun kuasa. Di Yerusalem, manusia disatukan karena Allah membangun Kerajaan-Nya melalui pemberitaan Injil. Inilah kesatuan sejati: kesatuan dalam Roh, yang melampaui suku, bahasa, dan kepentingan pribadi. Kesatuan ini menggerakkan misi, bukan memperkuat identitas kelompok. Maka tidak heran, dalam Kisah Para Rasul 2 dan seterusnya, kita membaca bahwa jemaat mula-mula hidup saling berbagi dan tidak ada yang berkekurangan (lih. Kis. 2:44–45). Mereka memberi, karena mereka telah ditransformasi oleh kasih Allah. Mereka tidak lagi takut kehilangan, karena tahu hidup mereka ada dalam tangan Allah.
Dalam Yohanes 14:8–17, Yesus menjanjikan Roh Kebenaran yang akan menyertai dan diam di dalam mereka (ayat 17). Ia juga berjanji: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu” (ayat 27). Damai sejahtera itu bukan hanya rasa tenang, tetapi keberanian untuk melangkah—termasuk dalam hal memberi. Kita bisa memberikan persembahan tahunan dengan jumlah besar, bukan karena kita kaya, tetapi karena kita memiliki damai dari Roh Kudus bahwa hidup kita akan cukup. Kita memberi bukan karena berlebih, tetapi karena kita tahu kepunyaan kita bukan milik kita.
Saudara-saudari, jika hari ini kita mengaku telah menerima Roh Kudus, pertanyaannya bukan sekadar: “Apakah kita merasa terberkati?”, tetapi: “Apakah kita sudah menjadi berkat yang nyata?” Persembahan tahunan bukan sekadar tradisi, melainkan kesempatan untuk menyatakan bahwa kita bersatu dalam misi Allah. Dalam setiap lembar uang yang kita persembahkan, kita sedang berkata: “Tuhan, kami satu dalam Roh, satu dalam kasih, satu dalam misi-Mu.”
Memberi besar bukanlah soal angka semata, tetapi soal pengakuan bahwa kita hidup bukan dari hasil usaha kita sendiri, melainkan dari Roh yang menopang segala hidup. Ketika kita memberi besar, kita berkata pada diri sendiri: “Aku percaya, Tuhan sanggup memenuhi semua kebutuhanku.” “Aku percaya, gereja ini adalah alat karya Allah.” “Aku percaya, hidup yang disatukan oleh Roh akan berani berkorban demi karya-Nya.”
Pdt. Pramudya Hidayat