Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 14 September 2025
Bacaan Alkitab: Filipi 3:7-11
Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus, ada sebuah kisah nyata tentang seorang anak kecil yang setiap hari duduk di depan sebuah restoran mewah di kota besar. Anak itu tidak pernah masuk ke restoran tersebut, hanya menatap orang-orang yang makan dengan lahap. Sesekali ia menutup hidungnya karena aroma masakan yang semakin membuatnya lapar. Namun yang paling menyakitkan bukanlah rasa lapar itu, melainkan kenyataan bahwa orang-orang yang lewat berpura-pura tidak melihatnya. Mereka berjalan terburu-buru, seolah anak itu tidak pernah ada. Namun suatu sore, seorang perempuan menghampirinya. Ia menepuk bahunya, mengajaknya masuk, dan duduk makan bersama. Anak itu bukan hanya kenyang, tetapi juga merasa dimanusiakan—ia tidak lagi menjadi “yang tak terlihat.”
Kisah sederhana ini menggambarkan wajah dunia yang sering mengabaikan mereka yang ada di pinggiran. Tetapi justru di situlah kita ditantang oleh Yesus. Dalam Lukas 14:12–14, Yesus berkata: “Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya, karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan demikian engkau mendapat balasnya. Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang miskin, orang cacat, orang lumpuh dan orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.”
Saudara-saudara, mari kita pahami konteks perkataan Yesus ini. Pada masa itu, jamuan makan bukan sekadar soal makan bersama, melainkan sebuah simbol status sosial. Dalam budaya Yahudi abad pertama, jamuan dipakai untuk mempertahankan honor—kehormatan. Orang biasanya hanya mengundang sahabat, kerabat, atau tetangga kaya yang bisa membalas dengan undangan serupa. Sistem ini disebut patron-client: siapa yang bisa memberi keuntungan, dialah yang layak diajak duduk bersama. Yesus datang menantang pola itu. Ia berkata: “Undanglah orang miskin, cacat, lumpuh, dan buta.” Dengan kata lain, undanglah mereka yang tidak mungkin membalas. Pernyataan ini terdengar radikal, karena Yesus membalik cara pandang manusia tentang kehormatan. Kehormatan sejati bukanlah ketika kita dihormati balik oleh sesama, melainkan ketika kita mengasihi tanpa pamrih dan menerima balasan dari Allah sendiri.
Yesus menutup dengan janji: “Engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.” Inilah dimensi eskatologisnya: kasih yang tanpa pamrih itu adalah tanda Kerajaan Allah, dan Allah sendiri yang akan menghargai setiap perbuatan kasih itu.
Lalu apa yang dapat kita pelajari dan hidupi dari teks ini?
Pertama, kita dipanggil untuk bergeser dari logika balas jasa menuju logika kasih karunia. Dunia selalu mengukur dari untung-rugi. Kita sering menghitung: siapa yang bisa menguntungkan kita, siapa yang bisa membalas kebaikan kita. Tetapi Yesus menantang kita untuk memberi justru kepada mereka yang tidak mampu membalas. Itulah kasih yang mencerminkan kasih Allah—kasih yang gratis, kasih yang tidak berhitung laba.
Kedua, kita diajak menjadi sahabat bagi yang tak terlihat. Yesus menyebut orang miskin, cacat, lumpuh, dan buta. Mereka adalah kelompok yang diabaikan dan dipinggirkan pada zamannya. Dalam konteks kita sekarang, itu bisa berarti kaum miskin kota, anak jalanan, buruh migran, lansia yang terlantar, bahkan juga mereka yang diasingkan dalam keluarga atau komunitasnya. Kita dipanggil bukan hanya memberi bantuan, tetapi juga memberi ruang: ruang untuk dihargai, ruang untuk duduk bersama, ruang untuk merasa dimanusiakan.
Ketiga, kita dipanggil menghadirkan tanda Kerajaan Allah sejak sekarang. Yesus memang berkata bahwa balasan dari Allah ada pada hari kebangkitan. Namun sesungguhnya, tanda-tanda itu sudah mulai hadir setiap kali kita mengasihi tanpa pamrih. Setiap kali gereja membuka pintu bagi yang terpinggirkan, setiap kali kita duduk bersama mereka yang dilupakan, di situlah Kerajaan Allah mulai dirasakan.
Saudara-saudara, menjadi sahabat bagi yang terpinggirkan bukanlah tugas tambahan bagi gereja, melainkan inti dari identitas gereja itu sendiri. Gereja yang setia kepada Kristus adalah gereja yang berani mengundang, merangkul, dan berjalan bersama mereka yang tidak dianggap oleh dunia. Jika dunia berkata: “Undanglah mereka yang bisa membalasmu,” Yesus berkata: “Undanglah mereka yang tidak bisa membalasmu.” Dengan cara itulah, kita sedang menghadirkan wajah Kristus di tengah dunia. Kristus yang datang bukan untuk duduk bersama orang kaya atau berkuasa, melainkan untuk mencari, menyelamatkan, dan bersahabat dengan yang hina dina. Kiranya kita semua dimampukan untuk hidup sebagai sahabat bagi yang terpinggirkan, agar melalui hidup kita, dunia boleh merasakan kasih Allah yang nyata. Amin.
Pdt. Pramudya Hidayat