Bagaimana kita dapat bertindak dengan memahami, bahwa keterbatasan kita akan digunakan oleh tangan-Nya yang tak terbatas?

Membaca kisah Yesus memberi makan lima ribu orang, biasanya berakhir dengan pesan kemampuan Yesus melipatgandakan makanan (Markus 6: 30-43). Namun mencermati kisah ini dari sisi para murid, juga tidak kalah menariknya.

Latar belakang kisah ini dimulai ketika Yesus mengajak para murid ke tempat sunyi dan beristirahat (ayat 31). Ya, beristirahat dan bukan untuk bekerja. Namun, rencana itu berubah, karena banyak orang mengikuti Dia. Menjelang malam, barulah diketahui, bahwa orang banyak itu tidak memiliki makanan, padahal tempat itu sunyi.

Para murid kemudian melapor kepada Yesus, “Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah mereka pergi, supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa dan di kampung-kampung di sekitar ini.” Yang didapat para murid justru jawaban Yesus: “Kamu harus memberi mereka makan.”

Para murid ditegur, meskipun mereka sudah mengerjakan tugas mereka, dan rela beradaptasi dari tujuan awal beristirahat menjadi terus bekerja mendampingi Yesus. Selain itu, para murid diminta mengurusi hal-hal, yang sebetulnya bukan tanggung jawab mereka. Ketika orang banyak berjalan menuju tempat Yesus berada, yang ternyata merupakan tempat yang sunyi, mengapa mereka tidak menyiapkan kebutuhan dasar mereka sendiri, yaitu makanan? Jika para murid sudah melakukan bagiannya, lalu mengapa Yesus menegur para murid?

Setidaknya ada dua hal yang dapat direnungkan bersama mengenai teladan yang hendak dibagikan Yesus kepada para murid: pertama, tindakan para murid rasanya sudah tepat, jika dilihat dari perspektif mengerjakan tugas. Para murid sudah mengerjakan lebih dari yang diharapkan. Namun tampaknya Yesus ingin memperlihatkan sisi lain, yaitu belas kasihan (ayat 34). Sisi ini yang hendak ditambahkan Yesus kepada para murid. Belas kasihan memberi warna berbeda terhadap pendekatan (yang) hanya menjalankan tugas.

Kedua, para murid mungkin belum menyadari, bahwa mereka sesungguhnya memiliki kelebihan (privilege) yang tidak dimiliki oleh orang banyak tersebut. Para murid adalah bagian lingkaran terdekat Yesus, yang kelebihannya adalah telah mengetahui cara Yesus bertindak. Jika dilihat di perikop sebelumnya (Markus 6:6-12), mereka baru saja menyelesaikan misi berjalan berdua-dua dan dicatat mendapatkan penyertaan Tuhan di sepanjang misi mereka. Kelebihan ini jelas tidak dimiliki orang banyak tersebut. Para murid baru saja menyaksikan dan mengalami langsung penyertaan Tuhan yang tidak terbatas terhadap keterbatasan mereka.

Noblesse Oblige, adalah istilah dalam bahasa Perancis, yang muncul ratusan tahun kemudian, yang menjelaskan bahwa mereka yang diberikan kelebihan memiliki kewajiban membantu mereka yang kurang beruntung. Jika perspektif ini hendak disandingkan dengan kisah para murid dalam kisah ini, maka para murid memiliki kewajiban untuk menolong orang banyak tersebut.

Lebih dari Noblesse Oblige, Yesus meneladankan agar para murid bertindak lebih dari sekedar menjalankan kewajiban. Mengerjakan tugas dan mau beradaptasi terhadap perubahan sudah sangat baik. Memikul tanggung jawab, bahkan karena kelalaian orang lain, juga tidak kalah baiknya. Namun Yesus melangkah lebih jauh dengan memberi teladan kepada para murid. Yesus ingin agar para murid menambahkan unsur belas kasihan dalam tugastugasnya, dan agar para murid berani mempercayakan keterbatasan mereka ke tangan Dia yang tak terbatas.

Masa-masa yang belum pulih seutuhnya karena pandemi Covid-19 membuka kesempatan bagi kita untuk meneladani Yesus dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Beberapa dari kita mungkin seperti orang banyak yang berkerumun mengikuti Yesus; yang kemudian tersadar, bahwa mereka tidak memiliki persiapan cukup, dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Namun, beberapa dari kita juga seperti para murid, yang ternyata memiliki berbagai kelebihan. Meski terbatas, bisa jadi keadaan ekonomi, posisi, pengetahuan, kesehatan, atau pengalaman kita relatif lebih baik dibandingkan dengan yang lain.

Beranjak dari kisah ini, bagaimana belas kasih-Nya menginspirasi kita untuk menolong mereka yang belum mampu menyiapkan diri di masa sulit ini, yang mungkin bahkan disebabkan oleh kelalaian mereka sendiri? Bagaimana kita dapat bertindak dengan memahami, bahwa keterbatasan kita akan digunakan oleh tangan-Nya yang tak terbatas?