Di tengah gereja yang besar, sering kali tidak semua orang saling mengenal. Namun, pernahkah kita bertanya, apakah setiap orang merasa diterima? Merasa dihargai? Merasa memiliki? Dalam pelayanan, kita sering terjebak dalam rutinitas. Fokus pada tugas, tetapi lupa alasan utama kita melayani, yaitu untuk memuliakan Tuhan dan membangun sesama. Bahkan, tak jarang pelayanan terasa berat karena takut salah, takut dinilai, atau merasa tidak cukup mampu.
Tahun 2025, GKI Gading Serpong mengangkat tema “Ekklesia Hospitalis”, yang ingin mengajak kita membangun budaya gereja yang lebih terbuka, lebih ramah, lebih bersahabat, dan lebih tulus. "Ekklesia hospitalis" adalah istilah yang menggabungkan dua konsep, yaitu "ekklesia", yang merujuk kepada gereja atau komunitas umat Kristen, dan "hospitalis", yang berarti keramahtamahan. Secara sederhana, ini mengacu pada praktik keramahtamahan dalam konteks gereja atau komunitas Kristen, tempat umat Kristen menunjukkan kehangatan, persahabatan, dan keramahan kepada satu sama lain, dengan menciptakan lingkungan yang penuh kasih, sehingga semua orang merasa diterima dan dihargai.
Sabtu, 26 Juli 2025, pukul 15.30, Komisi Ibadah GKI Gading Serpong mengadakan acara persekutuan wilayah gabungan, dan dihadiri oleh 245 orang jemaat dewasa, tidak termasuk anak-anak. Acara diselenggarakan di aula lantai 6 SMAK PENABUR Gading Serpong, Jl. Kelapa Gading Barat, Pakulonan Barat, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang. Edo Kurniawan Pasaribu bertindak sebagai pembawa acara, sementara Pdt. Cordelia Gunawan, wanita pertama yang menjadi Ketua Umum BPMSW GKI Wilayah Jawa Barat, menjadi pembicara dalam seminar bertemakan "Ekklesia Hospitalis". Setelah kata pembuka, pembawa acara mengajak jemaat menyanyikan lagu “Hari Ini Kurasa Bahagia”, dilanjutkan dengan doa pembuka yang dipimpin oleh Pdt. Danny Purnama.
Pdt. Danny membuka acara dengan menggambarkan, gereja seharusnya menjadi komunitas yang tidak hanya menyambut jemaat baru, tetapi juga ramah terhadap jemaat yang sudah ada di dalamnya. Di gereja, ada orang-orang tertentu yang Tuhan pakai, yang ramah, dan meninggalkan kesan mendalam, yang membuat kita nyaman dan betah datang ke gereja, karena merasa disambut. Banyak jemaat GKI di kota besar yang kemudian pindah ke pinggiran. Salah satu jemaat pinggiran yang paling diminati adalah GKI Gading Serpong. Dalam PMK GKI Klasis Banten dipaparkan, jumlah anggota GKI Gading Serpong sebanyak 3900 orang, termasuk jemaat terbesar di Klasis Banten. Lalu, mau diapakan? Apa langkah-langkah yang harus dilakukan gereja, agar jemaat merasa nyaman berada di dalamnya? Sebelum menyerahkan kepada pembicara, pembawa acara mengajak jemaat menaikkan lagu “Melayani Lebih Sungguh”.
Pdt. Cordelia mengawali dengan menjelaskan pemandangan umum (pemandum) BPMSW GKI yang dibuat dua tahun sekali. Untuk tahun 2023-2025, BPMSW GKI Jawa Barat—yang terdiri dari 102 jemaat—menetapkan tema multiekklesia, seperti ekklesia familia, ekklesia sekolah, ekklesia digitalis, dan ekklesia hospitalis. Ekspresi ekklesia hospitalis yang pertama adalah ekklesia sekolah. Itu berarti berbicara soal lembaga pendidikan yang kita miliki, yaitu PENABUR, Universitas Maranatha, dan UKRIDA. Lembaga-lembaga pendidikan ini menjadi suatu bentuk perpanjangan tangan gereja. Ekklesia hospitalis juga mencakup pelayanan kesehatan. Melalui pelayanan kesehatan yang diberikan, penting agar pasien tidak hanya disembuhkan fisiknya, tetapi juga mengalami kehadiran Tuhan.
Kata “hospitalis” yang berarti keramahan berasal dari kata dasar “hospes”, yang artinya tamu. Tentu, “tamu” yang dimaksud bukan hanya jemaat baru. Dalam hal gereja, semua orang yang terlibat di dalam gereja juga harus dapat merasakan keramahan itu. Dalam Roma 12:13; 1Tim. 3:3; Titus 1:8, kita dapat melihat syarat-syarat seseorang dapat menjadi penatua/penilik jemaat, yang pada intinya adalah keramahan. Keramahan dapat ditilik dari dua faktor, yaitu sikap/attitude dan budaya/culture.
Keramahan sebagai Sikap
Keramahan sebagai sebuah sikap/attitude dapat diartikan bahwa orang-orang yang ada di dalam gereja itu ramah. Saat seseorang datang ke gereja, ia langsung merasakan bahwa ia diterima, disambut, ditolong. Gereja yang ramah juga tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi jemaatnya yang hadir. Misalnya, menyediakan fasilitas berupa toilet urinal ramah anak. Ia juga ramah terhadap kaum lanjut usia, yang dapat ditunjukkan melalui ukuran huruf yang tertera pada layar, kecepatan bicara yang lebih lambat, menyediakan lift, dan sebagainya.
Sikap ramah itu tidak hanya menjadi tanggung jawab para pendeta dan penatua, tetapi juga harus ditunjukkan oleh seluruh jemaat, menjadi tanggung jawab bersama. Apa dasar teologisnya? Alkitab menekankan, Yesus menunjukkan keramahan dalam keseharian-Nya. Yesus sendiri sering berkumpul dengan orang-orang yang terpinggirkan, menunjukkan bahwa hospitalitas adalah inti dari pelayanan-Nya. Contohnya, Ia mau menyapa para penjala ikan dan mengajak mereka menjadi murid-murid-Nya. Ia menerima anak-anak, perempuan dosa, juga mau menyembuhkan perempuan Siro Fenisia yang sakit pendarahan. Lebih jauh lagi, dalam Injil Matius 25:35-40, Yesus mengajarkan, ketika kita menyambut orang asing, memberi makan yang lapar, atau mengunjungi yang sakit, kita melakukannya untuk-Nya. Ini adalah pengingat kuat, setiap tindakan kecil dalam keramahtamahan kita berpotensi menjadi saluran kasih Tuhan kepada dunia. Dengan demikian, hospitalitas menjadi panggilan bagi setiap gereja untuk menjadi saluran kasih Kristus, yang dapat menjangkau dan mengubah hidup.
Kisah Abraham di dalam Kejadian 18:1-8 memperlihatkan ia menerima tiga orang asing dengan penuh keramahan. Abraham menyediakan makanan, tempat istirahat, dan perhatian bagi mereka, bahkan tanpa mengetahui bahwa mereka adalah utusan Tuhan. Sikap Abraham ini tidak hanya menunjukkan nilai-nilai moral, tetapi juga keyakinan, setiap tamu yang hadir bisa jadi merupakan bentuk kehadiran Tuhan.
Untuk menunjukkan keramahan sebagai attitude, ada lima hal yang perlu kita perhatikan, yaitu kita harus menunjukkan keramahan secara intention, relationship, interaction, engagement, dan connection. Pertama, kita menyadari apa yang tujuan kita bersikap ramah, dan berdasarkan tujuan itu, kita menetapkan strategi. Kita memberikan senyum dan bersikap ramah supaya jemaat merasa disambut/diterima. Kedua, tidak cukup hanya menunjukkan wajah tersenyum, tetapi harus ada relasinya. Jadi keramahan itu bersifat pribadi dan tulus. Ketiga, ada interaksi. Kita perlu mengambil inisiatif untuk menunjukkan keramahan itu. Jangan hanya seperti pengunjung bioskop yang hanya ingin memuaskan diri, tanpa merasa perlu mengenal orang-orang yang ada di sekitarnya. Keempat, ada engagement. Kita perlu menengok ke kiri-kanan, menyapa orang-orang yang belum terlalu kita kenal. Jadi, tidak hanya datang beribadah dan setelahnya langsung pulang. Kelima, kita perlu menciptakan koneksi. Ketika berkenalan, tanyakan kebutuhan mereka, dan perkenalkan/hubungkan mereka dengan orang-orang lain yang dapat membantu mereka.
Konkretnya, kita dapat menerapkan 5-10 link rule. Angka lima itu menunjukkan waktu, yaitu lima menit sebelum ibadah dan lima menit setelah ibadah. Angka sepuluh menunjukkan jarak. Perhatikanlah orang yang berada dalam jarak sepuluh langkah dari kita. Ajaklah mereka berkenalan dan mengobrol. Tanyakan pekerjaannya, lingkungan tempat tinggalnya. Karena itu, penting agar jemaat tidak datang mepet jam kebaktian, supaya sempat saling berkenalan, mengobrol, dan menyapa.
Selain itu, kita perlu melakukan weave kindness, yaitu cara menyambut tamu dan membangun suasana yang nyaman, serta mencerminkan hadirnya kasih Tuhan di dalam gereja. Yang pertama, welcome on a personal level. Sambutlah seseorang dengan hangat, sehingga ia merasa “berharga”, termasuk orang baru, agar merasa sebagai bagian dari komunitas. Misalnya, dengan mengatakan “I’m really glad you’re here.” Yang kedua, emphatize with others, truly listen. Pahamilah orang lain, dan dengarkan kebutuhannya dengan sungguh-sungguh. Contohnya dalam percakapan adalah kita dapat berkata, “I may not have all the answers, but I’m here to listen.” Ketiga, acknowledge the concerns and needs of those you meet. Buatlah suatu pengalaman, sehingga seseorang merasa kebutuhannya diperhatikan. Misalnya, dengan menanyakan “Is there anything you need right now?” Bagi para penyambut tamu, perhatikanlah, apa yang ia butuhkan? Jika ia tidak tahu arah ke toilet, jangan hanya tunjukkan arahnya, tetapi antarkanlah ia ke sana. Keempat, verify all needs have been met. Pastikan seluruh harapan orang lain sudah terpenuhi. Contohnya, kita dapat berkata, “Let me know if something’s still missing.” Kelima, exit on a personal level. Kita sebaiknya tidak masuk terlalu jauh juga, sehingga mengganggu. Akhiri interaksi, dan pastikan orang tersebut merasa hangat, nyaman, dan berharga. Misalnya, dengan mengatakan “Let’s keep in touch if you ever need anything.”
Ada seninya dalam menerapkan keramahtamahan di gereja. Kita juga dapat menerapkan five love languages dari Gary Chapman. Setiap orang memiliki bahasa cinta masing-masing. Bahasa cinta ini tidak hanya berlaku untuk suami istri dan hubungan orang tua-anak. Setelah beberapa lama kita mengenal seseorang, kita akan makin mengenal bahasa cinta masing-masing. Ada orang yang senang disentuh (physical touch), ada yang senang dipuji (words of affirmation), ada yang senang dilayani (act of kindness), ada yang senang diberi hadiah (receiving gifts), dan ada pula yang senang bila kita dapat memberikan waktu yang berkualitas (quality time). Dengan mengenali bahasa cinta orang tertentu dan memberikan perhatian sesuai bahasa cintanya, kita dapat menyampaikan keramahan secara lebih efektif dan elegan.
Ada lima langkah untuk menerapkan bahasa cinta dalam keramahtamahan di gereja. Pertama, menyapa dengan ikhlas. Dalam hal ini, pelayan hendaknya menyampaikan kata-kata yang nyaman dan enak didengar, seperti “Selamat beribadah”, “Kiranya Tuhan memberkati”, “Dengan senang hati”, “Terima kasih kembali”, dan lainnya. Kedua, melakukan tindakan melayani yang dilakukan dengan fokus, memperhatikan kebutuhan jemaat, proaktif, dan siap selalu. Ketiga, dalam merespons jemaat, selalu menggunakan bahasa yang nyaman, dan diikuti dengan senyum. Keempat, optimalkan waktu bersama jemaat dengan menjaga kesan pertama (first impression) yang baik. Kelima, dalam berhadapan dengan jemaat, pelayan harus fokus, memandang matanya dengan rileks, menyalami dengan hangat, dan menunjukkan gestur tubuh yang rileks.
Ada beberapa kode etik dalam pelayanan jemaat. Kita perlu mengingat ada beberapa hal yang perlu dan yang sebaiknya tidak kita lakukan dalam menunjukkan keramahan ini. Hal yang perlu kita lakukan adalah tersenyum. Senyuman dapat membuat orang senang. Ini adalah cara termudah untuk menunjukkan keramahan. Kita datang ke gereja ini bukan hanya untuk bersekutu dengan Tuhan, tetapi juga untuk bersekutu dengan saudara-saudara seiman. Jika perasaan kita sedang kurang baik ketika berangkat dari rumah, stres karena terburu-buru, sedang ada masalah di rumah, baru saja bertengkar dengan pasangan di mobil, bagaimana mungkin kita bisa bersikap hangat? Karena itu, kita perlu menetralkan diri sendiri dahulu, sehingga waktu masuk ke gedung gereja, kita bisa bersikap ramah.
Lalu, apa saja yang sebaiknya tidak kita lakukan? Saat berbicara, sebaiknya kita menunjukkan wajah ramah, tidak cemberut, fokus, tidak sambil membuka handphone. Kita juga sebaiknya tidak bersikap menggurui, mengomentari cara berpakaiannya, atau terlalu banyak berbasa-basi. Jangan kepo, menanyakan hal-hal yang terlalu pribadi, misalnya berapa jumlah anaknya, apakah sudah hamil, sudah menikah, dan sebagainya. Harus ada batasan. Jangan body shaming dan berkomentar yang tidak perlu. Jangan pula bersikap berlebihan, misalnya memberikan peluk cium, sehingga orang merasa jengah. Dalam melayani, jangan hanya mau melakukan sekadarnya. Berikanlah yang terbaik, yang optimal untuk Tuhan.
Kemudian, pembicara memberi waktu kepada peserta untuk mempraktikkan cara menunjukkan sikap ramah ini, dengan meminta para peserta menoleh ke kiri-kanan, dan menghampiri orang lain, mulai dari yang paling tidak dikenal, dan mengobrol dengannya selama tiga menit sambil tersenyum. Setelah waktu yang diberikan berakhir, pembawa acara meminta salah satu guru sekolah Minggu memimpin peserta menyanyikan lagu “Apa Kabar? Mari Kita Bergembira!” dengan melakukan gerakannya.
Keramahan sebagai Budaya
Setelah selingan tersebut, tempat kembali diberikan kepada Pdt. Cordelia, yang melanjutkan dengan penjelasan tentang keramahan sebagai sebuah budaya atau culture. Mat. 7:12 mengatakan, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah inti Taurat dan Nabi-nabi.” Artinya, keramahan menjadi sebuah value yang dihidupi dan mendasari program-program yang dijalankan. Evaluasi kebijakan-kebijakan gereja. Jangan sampai kebijakan kita menekan ke bawah, membuat orang lain tidak merasakan keramahan, mendiskreditkan orang lain. Kita harus berorientasi pada orang, bukan pada program. Apakah kebijakan/program kita menunjukkan keramahan? Apakah kita dapat mengatakan bahwa gereja kita ramah anak? Ramah lansia? Sering kali, kita tidak terlalu memikirkannya, dan sekadar menjalaninya, tetapi ternyata gereja kita sebenarnya tidak terlalu ramah.
Saat kita berlaku ramah, tujuannya adalah agar orang lain merasakan kasih Tuhan. Ketika kita melawat, kita berfokus pada orang tersebut, bukan berbicara tentang diri kita sendiri. Apakah kebijakan kita ramah atau tidak, hal itu dapat dilihat dan dirasakan saat seseorang terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Jadi, dalam membuat kebijakan, kita harus menilai, apakah misalnya gereja kita ramah lingkungan, ramah anak, ramah lansia? Guru sekolah Minggu dan pendeta harus punya lisensi bahwa dia tidak akan melakukan kekerasan. Banyak juga karyawan gereja yang ternyata digaji di bawah UMR. Culture juga penting, bukan hanya attitude!
Go Extra Mile
Matius 5: 41 mengatakan, “Siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.” Marilah ketika melayani, kita tidak sekadar aktif melayani. Ketika datang mengikuti kebaktian, kita tidak sekadar menjadi data dan mengikuti kegiatannya. Katakan, “Saya mau jadi berkat buat orang lain di sekitar saya.” Jangan hanya berjalan sejauh satu mil, tetapi mau berkorban, melakukan “lebih”. Pembawa acara mengajak jemaat menyanyikan lagu “Jalan Serta Yesus”. Acara dilanjutkan dengan tanya-jawab, diakhiri dengan lagu “Hidup Ini adalah Kesempatan”. Setelah doa yang dipimpin oleh Pdt. Pramudya Hidayat, acara ditutup dengan lagu berkat, “Kasih Tuhan Mengiringmu”.
Ekklesia hospitalis mengingatkan kita, gereja bukanlah ruang bagi yang sempurna, melainkan rumah bagi yang terluka, tempat yang menerima tanpa syarat, mengasihi tanpa syarat, dan memulihkan tanpa menghakimi.
Mari tidak hanya menjadi pengunjung gereja, tetapi menjadi tubuh Kristus yang hidup—yang melihat, menyambut, dan melayani sesama dengan hati seperti Kristus. Biarlah setiap perjumpaan di komunitas kita menjadi perjumpaan yang membawa pulang orang-orang kepada kasih Allah. Karena pada akhirnya, bukan kehebatan program atau kemegahan gedung yang membuat gereja hidup—melainkan kasih yang menyembuhkan, dan penerimaan yang menghidupkan. Mari kita menjadi gereja yang memulihkan, menjadi ekklesia hospitalis. Amin.
*Penulis adalah ketua Panitia Seminar Ekklesia Hospitalis GKI Gading Serpong.
**Penulis adalah pemimpin Redaksi Majalah Sepercik Anugerah GKI Gading Serpong untuk tahun pelayanan 2024–2026.
Simak foto-foto selengkapnya: https://gkigadingserpong.org/gallery/gallery-photo/ekklesia-hospitalis-oleh-pdt-cordelia-gunawan?highlight=WyJla2tsZXNpYSJd