Komisi Perpustakaan, Publikasi, dan Dokumentasi GKI Gading Serpong mengadakan acara bedah buku untuk pertama kalinya pada Sabtu, 22 Juli 2017, dengan pembawa acara Dhama Gustiar Baskoro, dan moderator Satrya Harefa. Dampak Warisan Kelam: Narasi-Narasi Miring dan Narasi yang Dilupakan, karangan Robby I. Chandra, adalah buku yang dibahas dengan penanggap dari tim redaksi majalah Sepercik Anugerah, Tjhia Yen Nie dan David Tobing.

Pukul 09.00 pagi, para peserta sudah tampak antusias memasuki ruangan di lantai 2 SMAK Penabur Gading Serpong. Salah satu peserta dari GKI Puri Indah,  Esther Laksmana, mengatakan, ”Saya sangat tertarik dengan judul bukunya. Apalagi buku itu karya Pak Robby. Jadi bela-belain datang deh,” ceritanya.

Buku ini menggambarkan berbagai tragedi dalam sejarah bangsa Indonesia sehingga menciptakan trauma tertentu bagi keturunan Tionghoa. Keresahan penulis terhadap hasil survey yang pernah dilakukannya pada sekitar 600 orang mendorongnya menuliskan buku ini. Saat itu, ia bertanya kepada respondennya apakah etnis Tionghoa yang akan menjadi sasaran utama jika terjadi kerusuhan. Sebagian besar responden menjawab: ”Ya.” Padahal, respondennya berasal dari berbagai variasi usia dan agama dari enam kota besar, dan sebagian dari mereka tidak mengalami Kerusuhan Mei’ 98.

Yen Nie mengemukakan kesimpulan dari buku ini. Image sebagai pekerja keras, rajin, ulet, taat aturan, dan tahu diri sebenarnya timbul karena rasa tidak aman yang dialami orang Tionghoa terhadap lingkungan sekitar mereka.

David Tobing juga mengingatkan kalau ras adalah salah satu bentuk identitas asli, yaitu identitas yang-terberi (given). Tidak ada seorang pun yang bisa memilih menjadi ras atau suku apa saat dilahirkan. Narasi-narasi miring tentang orang Tionghoa, yang terbentuk dalam ingatan kolektif (collective memory) bangsa Indonesia, menentukan alam berpikir dan bertindak orang Tionghoa sebagai warganegara (citizen). ”Narasi-narasi miring yang berwatak diskriminatif itu, secara radikal, menghilangkan kebebasan orang Tionghoa. Jelas, dalam kondisi tidak bebas, individu secara personal senantiasa berada dalam kondisi tidak berdaya.”

Elizabeth Iskandar, jemaat GKI Gading Serpong sejak 2001, menganggap buku yang merangkum masa lalu Tionghoa di bumi Indonesia diperlukan untuk dipahami. ”Ini bisa menjadi referensi kita untuk melangkah dan mengembangkan pola relasi di antara anak bangsa dengan lebih bermakna dan harmonis,” simpulnya. Ia juga melihat acara bedah buku ini sebagai kegiatan yang baik. ”Sebagai acara bedah buku perdana di GKI Gading Serpong, acara bedah buku ini telah memenuhi kebutuhan jemaat yang punya perhatian pada topik buku tersebut.”

Alfano Zet Sembai, jemaat GKI Gading Serpong sejak 2013, sangat tertarik menghadiri acara bedah buku ini karena ia memiliki banyak teman dari kalangan Tionghoa. Sebagai orang Papua, ia merasa kesulitan berkomunikasi maupun bersahabat dengan orang Tionghoa. Bahkan, ia sering merasa mendapat respon yang kurang baik dari mereka. ”Saya ingin mengetahui apa alasan dan cerita di balik sikap mereka seperti itu, mengapa mereka sampai seperti itu,” ceritanya. Sembai juga menilai acara bedah buku ini bagus, mendidik, dan bermanfaat. ”Kalau bisa, dibuat menjadi seminar saja sekalian,” usulnya.

Robby Chandra mengatakan bahwa dirinya tidak menggunakan kaidah metode ilmiah secara ketat dan tepat dalam penulisan buku ini. ”Tulisan ini adalah sebuah upaya menelusuri kemungkinan memunculkan narasi baru yang sederhana serta positif.”

Setelah sesi tanya jawab, acara yang berlangsung selama 3 jam dan dihadiri 30 peserta ini ditutup dengan pembagian hadiah kuiz oleh pembawa acara.

 

20180803BedahBuku2

20180803BedahBuku3