Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 5 November 2023
Bacaan Alkitab: Mikha 3:5-12; Mazmur 43; 1 Tesalonika 2:9-13; Matius 23:1-12
Apa yang membuat kita dapat mengagumi seseorang? Parasnya? Penampilannya? Prestasinya? Biasanya, kekaguman tersebut disertai dengan bayangan kesempurnaan sifat dan karakter pada diri orang tersebut. Namun, betapa kagetnya kita ketika kita mengetahui ternyata orang tersebut tidak memiliki karakter yang sama baiknya dengan parasnya, penampilannya, prestasinya. Ia jauh dari kata sabar, rendah hati, penuh kasih, dan segala hal baik yang selama ini kita bayangkan ada di dalam dirinya.
Demikian juga dengan orang-orang yang diberikan kepercayaan untuk menjadi pemimpin. Harapannya adalah mereka dapat menjalankan setiap kata-kata dan janji-janji yang diucapkan menjadi aksi yang nyata. Namun, yang sering kali terjadi adalah antara kata dan aksi, keduanya berbanding terbalik. Hal inilah yang kerap membuat timbulnya kekecewaan bahkan ketidakpercayaan. Oleh karena itu, Firman Tuhan pada hari, mengingatkan kita untuk menjadi pribadi yang berintegritas dan tidak terjebak pada kehidupan yang penuh kemunafikan atau kesalehan semu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), integritas berarti sikap yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran. Jadi, karakter integritas merupakan karakter yang menonjolkan konsistensi untuk melakukan kebenaran, baik dalam kata maupun perbuatan; teguh pada pendirian dan ada kejujuran di dalamnya.
Hal ini juga yang sebenarnya ditunjukkan oleh Yesus di dalam keseharianNya. Ia selalu menunjukkan kesatuan antara kata dan perbuatan-Nya. Ketika Ia mengajarkan tentang kasih, Ia melakukannya sampai mati di kayu salib. Ketika Ia mengajarkan pengampunan, Ia betul-betul melakukannya bahkan meski Ia berada di atas kayu salib dengan berbagai kesakitan dan penderitaan yang Ia rasakan. Sangat berbeda dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang selalu menunjukkan kesalehannya, namun hanya dalam ritual ibadah semata untuk mendapatkan pujian manusia. Mereka mengajarkan tentang berbagai hukum Taurat, namun mereka sendiri tidak melakukannya. Mereka tidak dapat menunjukkan keteladanan yang utuh dan menyatu antara kata dan perbuatan.
Pdt. Devina E. Minerva