sinergi1

Kita sebagai bagian dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) bisa dikatakan sebagai gereja Kristus. Hal ini bukan dimaksudkan sebagai sinode gereja Kristus Yesus tetapi gereja yang dikepalai dan milik Kristus melalui karya Roh Kudus. Sebab, Roh Kudus menghubungkan kita dengan Yesus Kristus menjadi gereja-Nya. Hal ini diawali dengan pernyataan Pengakuan Iman Rasuli, ”Aku percaya kepada Roh Kudus; gereja yang kudus dan am ... ”, bukan tertulis bahwa kita percaya kepada atau akan gereja. Artinya, jemaat bukan diajak untuk mendewakan gereja melainkan kita mengakui adanya pekerjaan Roh Kudus dalam gereja sejak masa lalu hingga yang akan datang. Secara nyata, pengakuan tersebut dilakukan dalam bentuk misi dialogis dan transformatif. Misi dialogis dan transformatif berarti setiap kelompok duduk bersama membagikan pengalaman kehidupan yang dialaminya dan merencanakan program-program yang akan dilakukan untuk menghapus dan menentang segala bentuk penindasan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, uraian ini diharapkan mampu bersama-sama dengan teman sekerja dan sepelayanan dalam membicarakan dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi untuk melepaskan manusia dari segala bentuk penderitaan, penindasan, kemiskinan, pembodohan, dan lain-lain untuk mencapai transformasi ciptaan ke arah yang lebih baik melalui skala pendek, menengah, dan panjang.

Dalam berkarya, Allah dinyatakan dalam Trinitas (Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus). Karya Trinitas ini juga nampak dalam kehidupan gereja. Hal ini dinyatakan melalui pokok pengakuan tentang gereja, yakni berkat pekerjaan Roh Kudus, jemaat dibawa terhubung dengan Yesus Kristus. Lalu, Kristuslah yang memanggil jemaat dengan Firman dan RohNya dalam Alkitab dan kehidupan pengalaman sehari-hari.

Proses pemanggilan jemaat oleh Kristus menjadi gereja disebut ekklesia. Panggilan ini berarti jemaat telah dipanggil ke luar dari berbagai bangsa dan tempat (Kejadian 12:1) lalu turut dipanggil masuk kembali sebagai saksi bagi Tuhan (1 Petrus 2: 9). Mereka dipanggil agar menjadi warga Kerajaan Allah secara nyata dalam kehidupan sehari-hari (Efesus 4: 1, 4; Kolose 1: 13).

Pemanggilan Kristus bersifat sempurna tetapi jemaat penuh cacat. Jemaat telah diselimuti dosa sehingga membutuhkan dan harus mempercayakan diri pada Kristus. Kristus sendiri yang melakukan pengudusan sehingga gereja menjadi kudus dan milik Kristus (1 Korintus 1: 30). Setelah gereja memperoleh hal tersebut, gereja diajak membentuk diri sebagai satu tubuh.

Gereja sebagai Satu Tubuh

sinergi3Dalam 1 Korintus 12: 12-31, Rasul Paulus menggunakan metafora tubuh guna menjelaskan gereja. Tubuh digambarkan memiliki banyak anggota tetapi bersatu, saling membutuhkan, dan tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Secara detail, Paulus menggambarkannya kepala tidak bisa berkata mandiri tanpa kaki (ayat 21), anggota yang nampak paling lemah justru sangat dibutuhkan (ayat 22), anggota yang nampak kurang terhormat harus diberikan penghormatan khusus, serta anggota yang kurang elok turut diberi perhatian khusus (ayat 24). Kemudian, bila ada anggota tubuh yang berhenti berfungsi maka seluruh tubuh terhenti (ayat 26).

Berkenaan dengan kehidupan gereja, jemaat diminta saling bersimpati dan bersatu antara satu sama lain dalam satu tubuh. Sama halnya dengan gereja, semua pelayanan dipandang sama dan saling mendukung. Pelayanan dinyatakan dalam bentuk para rasul, pengajar, pelayan. administrator. Secara detail, William Barclay menjelaskannya sebagai berikut:

1. Para Rasul. Para rasul digambarkan memiliki hubungan dekat dengan Yesus. Sebab, para rasul pernah hidup bersama-sama dengan Yesus dan menjadi saksi kebangkitan Kristus (Kisah Para Rasul 1: 22). Kebersamaan mereka mengingatkan bahwa Yesus Kristus tidak pernah menulis perkataan dan sabda-Nya dalam kertas tertulis melainkan menyampaikannya pada para Rasul. Kemudian, para Rasul itulah yang meneruskan ke semua bangsa dan suku.

2. Pengajar. Para pengajar diindikasikan sebagai orang yang berupaya membangun iman orang-orang bertobat yang dimenangkan melalui pemberitaan injil para Rasul. Awalnya, pemberitaan dilakukan melalui mulut ke mulut. Pengajar memiliki peranan penting sebab ia harus menjelaskan dan mendidik dengan sangat jelas mengenai apa yang disampaikan para Rasul tanpa adanya buku sedikitpun. Hal ini tentu berbeda dengan situasi sekarang. Buku dan sumber belajar lainnya sangat banyak sehingga peran pengajar kurang begitu terlihat secara eksplisit atau nyata.

3. Pelayan. Pelayan identik dengan memberikan pertolongan bagi kaum miskin, anak yatim piatu, janda, dan orang asing. Dalam situasi masa kini, pelayanan model demikian biasa disebut diakonia. Diakonia tidak sekedar dipahami melalui membagi barang melainkan turut menekankan upaya mendengarkan dan sharing pengalaman hidup sehari-hari dan memfokuskan pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia.

4. Administrator. Dalam 1 Korintus 12: 12-31, administrator menggunakan kata “kuberneseis” dalam bahasa Yunani. Menariknya, kata ini sebenarnya menunjuk pada pekerjaan seorang pandu yang mengemudikan kapal melewati batu-batu karang dan beting-beting menuju pelabuhan. Dari segi metafora tubuh, anggota tubuh yang tidak pernah terlihat tetapi memiliki fungsi lebih penting dari anggota tubuh lain manapun bisa menunjuk pada administrator. Hal ini terjadi karena administrator memang pelayanan yang melayani dengan cara tidak menarik perhatian tetapi tanpa mereka, gereja tidak dapat berjalan dengan mulus.


Belajar dari metafora tubuh dalam menjelaskan gereja, setidaknya kita bisa belajar bahwa perpecahan merupakan dosa terhadap Tuhan dan menimbulkan rintangan bagi pelaksanaan tugas gereja (Yohanes 17: 20, 21). Guna mengatasi masalah ini, gereja mulai membentuk gerakan oikumene. Gerakan oikumene menyuarakan persatuan gereja di seluruh muka bumi. Secara konkrit, gerakan oikumene dibentuk dalam dewan gereja-gereja se dunia (tahun 1948) dan dewan gereja-gereja Indonesia.

Gereja Bertumbuh

sinergi2Setelah gereja menghayati diri sebagai satu tubuh, gereja harus bertumbuh. Pertumbuhan ini nampak ketika gereja tidak lagi memperhatikan komunitasnya semata melainkan memperhatikan semua manusia secara universal tanpa terkecuali. Pertumbuhan juga dinyatakan melalui dialog kehidupan bersama-sama membicarakan tantangan yang mengancam kehidupan. Secara konkrit, dialog dikemas dalam setiap komunitas duduk bersama membagikan pengalaman kehidupan yang dialaminya dan merencanakan program-program yang akan dilakukan untuk menghapus dan menentang segala bentuk penistaan kehidupan. Tujuannya dimuarakan pada keutuhan ciptaan, perdamaian, dan keadilan untuk membangun komunitas manusiawi. Dengan demikian, gereja terlibat aktif dalam misi Allah dalam bentuk misi dialogis dan transformatif sebagai wujud bertumbuhan gereja.

Gereja yang bermisi dilakukan untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah harus hidup dan berjuang bersama umat manusia. Sebab, gereja bukan komunitas umat di luar masyarakat melainkan bagian dari masyarakat. Gereja dapat bekerja sama dengan semua komponen masyarakat yang ada, termasuk komunitas umat beragama yang lain. Melalui misi ini, gereja dan agama lain dapat saling bersaksi di hadapan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari mengenai nilai spiritualitas dan kemanusiaan bersama dengan saling menolong satu sama lain guna membangun masyarakat yang lebih adil dan bersaudara. Namun, misi tidak boleh dipahami sekedar mendengarkan dan berbagi pengalaman kehidupan sehari-hari melainkan turut difokuskan pada pembangunan dan peningkatan martabat manusia.

Ranto Gunawan Simamora menunjukkan tiga visi dasariah gereja bermisi dialogis dan transformatif dilakukan melalui visi Kristologis, Ekklesiologis, dan Misiologis.

1. Visi Kristologis. Dalam konteks gereja bermisi, visi Kristologis tidak sekedar dimaknai gelar-gelar Kristus seperti Raja, Tuhan, Maha Pemenang, Anak Allah, Penyelamat, Firman Allah, dan sebagainya melainkan pengosongan (kenosis) dan merendahkan diri dalam diri manusia. Kenosis dipahami bahwa Kristus telah hadir bersama manusia yang terpinggirkan dan tersisih untuk melakukan penebusan dan membebaskan manusia. Dengan demikian, gereja dimungkinkan membangun dialog dan transformatif melalui merasakan, berbela rasa mengetahui apa yang mereka rasakan atau harapkan, dan mencari akses mewujudkan dalam kehidupan nyata.

2. Visi Ekklesiologis. Ekklesiologi dihayati sebagai gereja yang terbuka pada dunia. Keterbukaan berarti gereja tidak lagi menghayati diri sebagai gedung melainkan mengundang semua orang dan komunitas yang ada tanpa membedakan dari kelas, bangsa, seks, dan agama untuk duduk bersama dalam kasih Allah guna bergabung dengan tindakan Allah bersama-sama menuju perubahan.

3. Visi Misiologis. Misiologis berpusat pada terwujudnya Kerajaan Allah. Pusat ini berdampak dalam kehidupan gereja dengan mengubah pemahaman dasar “di luar gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus)” menjadi “di luar dunia tidak ada keselamatan (extra mundum nulla salus)”. Dengan demikian, visi ini bermuara pada upaya-upaya untuk menghasilkan perubahan-perubahan dalam masyarakat sebab Kerajaan Allah dapat diperlihatkan dan dibangun di sana.

Gereja bukan hanya dipahami sebagai gedung melainkan kita merupakan wujud nyata gereja sesungguhnya. Sebagai gereja, kita harus berusaha belajar menuju pertumbuhan. Pertumbuhan tidak dipahami kesalehan pribadi melainkan kepekaan sosial dalam menghadapi konteks nyata di sekitar kita. Hal inilah makna sejati dari sinergis menjadi gereja satu tubuh dan bertumbuh bersama.

Identitas Penulis:

Paulus Eko Kristianto merupakan alumni strata satu dari Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Kini, paulus bekerja di bidang kerohanian dan karakter BPK PENABUR Jakarta sembari menyelesaikan studi master di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.

Daftar Pustaka

Boland, B. J. Intisari Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.
Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat 1 dan 2 Korintus. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Simamora, Ranto Gunawan. “Misi Dialogis dan Transformatif: Wujud Hidup Menggereja dalam Masyarakat Majemuk dan Miskin” dalam Supriatno, Onesimus Dani, dan Daryatno (penyusun). Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian: Menjadi Gereja bagi Sesama. Bandung dan Jakarta: Majelis Sinode Gereja Kristen Pasundan dan BPK Gunung Mulia, 2009.