Penulis: Nona F.  Editor: Tjhia Yen Nie

 

Kusandarkan tubuhku pada lemari baju di belakangku. Sekalipun sudah duduk bersila, namun masih kurasakan lemas seluruh persendianku. Dinginnya lantai kamar membuat hatiku semakin membeku. Pilu.

Kembali kupandangi buku-buku yang berserakan di lantai. Kumpulan catatan harianku ketika aku masih duduk di bangku SD sampai usiaku mencapai seperempat abad. Buku-buku itu seolah bercerita tentang perjalanan hidupku dari masa ke masa. Ada tulisan tentang binatang peliharaan pertamaku, lengkap dengan fotoku menggendong kelinci gemuk berwarna putih yang imut dan lucu. Ada lagi kenangan cinta pertamaku kala SMA, atau ketika aku diterima bekerja di salah satu perusahaan BUMN di kawasan Slipi. Selebihnya curhatan-curhatan galau ABG (Anak Baru Gede), dengan kata-kata pembuka yang khas, "Dear diary..."

Namun cerita kehidupanku terhenti sampai disitu. Mana kelanjutannya? Hilang kemana tokoh utamanya? Sudah matikah? Kok rasanya seperti menunggu sekuel film Box Office yang tak kunjung dirilis, ya? Aku merasa... pilu.

Ke mana aku ketika menikah? Bukankah menikah itu adalah lompatan terbesar hidup seseorang?

Ke mana aku ketika melahirkan buah hati pertamaku?

Kenapa aku tidak menulis lagi?

Sekelebat bayangan berembus dalam otakku, teringat perjumpaan pribadiku dengan Tuhan. Aku yang sebelumnya menganut agama nenek moyang; agama turun temurun keluargaku yang berdarah Sunda; disentuh, diraih, dicengkeram sendiri oleh Sang Maha Kasih. Ke manakah aku dapat berlari ketika itu... sekuat apakah aku dapat menghindari pengampunan-Nya. Mukjizat apa yang kualami, ataukah justru tragedi yang membuat aku disadarkan? Apa yang terjadi ketika itu?

Kembali kurasa pilu...

Kenapa pengalaman sedahsyat itu tak kuukir pada lembaran-lembaran kertas ini? Hidupku di-SELAMAT-kan dan aku tidak menuliskannya?! Oh Tuhan... ampunilah aku...

Aku tidak mau lupa! Aku tidak rela setiap hal yang aku alami hilang begitu saja ditelan waktu. Setiap pelajaran dalam hidup seolah berteriak menjerit minta dibagikan.

Aku mau menulis kembali. Aku mau bercerita kabar baik bagi sesama insan.

Apa jadinya Alkitab jika saja Daud menolak titah Allah untuk bermazmur?

Sejauh-jauhnya Yunus berlari, tetap saja Tuhan menggapainya, sehingga Kitab Yunus dapat kupelajari.

Darimana aku dapat meresapi besarnya pengorbanan Kristus kalau bukan dari Kitab-Kitab Matius, Markus, Lukas dan surat-surat Paulus??

Bagaimana aku dapat memahami kehendak Tuhan atas masa depan, jikalau Yohanes bertindak tidak patuh untuk menuliskan penglihatan-penglihatannya??

Bahkan Yesus juga membacakan kitab-kitab dari Nabi-nabi sebelum Dia, ketika mangajar di Sinagoge.

Tuhan pasti kecewa padaku, jika aku menyembunyikan kebaikan-Nya hanya untuk diriku sendiri.

Pilu itu perlahan meleleh, memekat, memercikkan kilatan-kilatan kecil dan bergelora. Kurasakan harapan dalam hati. Kutarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Terima kasih, Tuhan... aku memang bukan Daud, Yunus, Matius, Paulus dan semua orang-orang pilihan-Mu. Namun aku mau diproses oleh-Mu, Tuhan.

Aku mau memulai lembaranku yang baru! Aku mau...

Tanpa butuh waktu lama, dengan sigap aku bangkit berdiri. Mengambil kertas dan pulpen. Ya, aku mau, Tuhan... mau mengukir setiap kebaikan-Mu dalam hidupku.

 

Hai Sion, pembawa kabar baik, naiklah ke atas gunung yang tinggi! Hai Yerusalem, pembawa kabar baik, nyaringkanlah suaramu kuat-kuat, nyaringkanlah suaramu, jangan takut! Katakanlah kepada kota-kota Yehuda: "Lihat, itu Allahmu!"
(Yesaya 40:9)