Malam itu, hujan turun dengan deras. Caleb sedang menyiapkan makanan untuk keluarga kecilnya, “Ayah, apakah makanannya sudah matang?” tanya anaknya. “Sebentar ya, ini sedang Ayah siapkan,” sahutnya sambil terus memasak.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu, “Tok tok tok!” Jane, istri Caleb dengan spontan menengok ke luar jendela. Tampak teman-temannya semasa SMA datang ke rumahnya. Tentu saja, mereka akan saling melepas rindu dan berbagi cerita.
Caleb sebenarnya tidak suka jika teman istrinya berkunjung, karena mereka pasti akan mengobrol hingga larut malam. Terlebih lagi, salah seorang dari teman istrinya itu ada yang baru saja mengalami kecelakaan, dan bersemangat menceritakan bagaimana Tuhan mengubah pemikirannya tentang hidup. Dalam pikiran Caleb, orang itu hanya berbasa-basi untuk mendapatkan perhatian. Ia pun melanjutkan menemani anaknya makan malam, membiarkan istrinya asyik bercengkerama bersama teman-temannya.
Keesokan harinya, mereka bangun lebih awal dari biasanya. Caleb berencana mengajak keluarganya pergi ke pantai untuk sekadar bersantai. Namun, istrinya menolak, karena hari itu adalah hari Minggu. Hari itu, ia ingin pergi ke gereja, bukan ke pantai. Caleb bersikeras tetap pergi, walaupun sendirian. Sementara itu, istri dan anaknya berangkat ke gereja.
“Cuaca sangat cerah. Sayang sekali, istri dan anakku tidak ikut,” kata Caleb dalam hati, sambil mengeluarkan kursi pantai dan payung. Satu jam berlalu. Caleb mulai merasa bosan. Lalu, ia melihat ada sekelompok pemuda yang sedang bersiap untuk berselancar. Caleb yang memang menyukai tantangan, bertanya kepada para pemuda itu. “Permisi, apakah ada tempat untuk menyewa papan selancar?” Salah seorang pemuda menjawab, “Ada. Bapak bisa menyewa di toko sebelah sana, yang di bawah pohon.” “Baik, terima kasih,” sahut Caleb. Ia pun bergegas menuju toko itu, dan menyewa satu papan selancar, kemudian segera berjalan ke arah laut.
Mendadak, penjaga toko itu berteriak, “Pak, hati-hati, ombaknya lumayan besar!” Caleb yang sudah beberapa kali berselancar tidak menghiraukan seruan tersebut. Ia mulai mendayung di atas papan selancarnya. Setelah beberapa saat, Caleb melihat ada ombak besar yang datang. Ia pun bersiap untuk berselancar. Ketika ombak itu mendekat, Caleb baru menyadari, tali pengikat papan selancar belum terpasang. Ia pun panik dan terjatuh.
“Caleb! Caleb! Caleb!” Panggilan itu membuat Caleb siuman dan perlahan membuka matanya. Ia melihat sekelilingnya. Tampak ada banyak alat rumah sakit terpasang. Lalu, ia menatap istri dan anaknya, tetapi ia merasa ada yang aneh. Sesaat, ia memperhatikan kakinya, ternyata ada kain yang membebatnya. Segera Caleb menyadari, kedua kakinya patah. Ia pun tidak bisa berkata-kata.
Setelah kejadian itu, kehidupan Caleb terasa membosankan. Ia tidak bisa bekerja, menyetir, berlari, berenang dan sebagainya. Kehidupannya seakan tidak berarti lagi. Ia menganggap dirinya tidak berguna dan hanya merepotkan keluarganya.
Pada suatu hari, Caleb yang masih duduk di kursi roda sedang merenung di depan rumahnya. Kemudian, istrinya mendekati dan bertanya, apakah ia ingin pergi bersama anaknya ke suatu tempat. Caleb yang merasa bosan di rumah langsung mengiakan ajakan itu. Singkat cerita, di dalam mobil Caleb bertanya kepada istrinya, ke mana mereka akan pergi, tetapi istrinya hanya menjawab, “Lihat saja nanti, aku yakin kamu akan suka!” Caleb penasaran dan terus mengira-ngira, ke mana istrinya akan membawanya. Namun, di tengah perjalanan Caleb tertidur.
Sesampainya di tujuan, Caleb turun dari mobil dan duduk di kursi roda yang didorong oleh istrinya. Mereka naik lift ke lantai 2. Ketika pintu lift terbuka, terdengar lagu-lagu rohani. Caleb memandang sekelilingnya. Terlihat ada banyak ruangan, dan di dalamnya orang-orang sedang bernyanyi. Tiba-tiba, anak mereka ingin pergi ke toilet. Istrinya meminta Caleb menunggu di sana, selagi ia menemani anaknya. Sebenarnya, istri Caleb sudah menyiapkan rencana. Ia meminta teman-teman gerejanya untuk membawa Caleb ke ruangan persekutuan mereka.
“Halo Pak, mengapa Bapak sendirian di sini?” tanya seorang pemuda. “Iya, saya sedang menunggu anak dan istri saya. Kamu teman istri saya, kan?” Pemuda itu membalas, “Iya Pak, saya Ben. Mari, saya antar ke ruangan persekutuan, ya Pak!”
Caleb yang baru pertama kali ke gereja tidak tahu apa itu ruangan persekutuan. Dalam pikirannya, itu adalah sebuah ruang tunggu. Saat masuk ke ruang persekutuan, Caleb disambut hangat oleh teman-teman istrinya. Ia diajak bergabung dan berbagi pengalaman dengan mereka. Di dalam hati, Caleb merasa malu, karena terakhir kali ia bertemu mereka, ia menganggap persekutuan ini hanya sebatas basa-basi. Lalu salah seorang dari mereka tersenyum hangat dan berkata, “Pak, kita semua punya cerita, dan setiap cerita itu berharga. Tidak ada cerita yang sempurna. Apa pun yang terjadi, itu bukanlah akhir. Tuhan selalu memberikan kesempatan baru bagi kita. Yang penting, sekarang Bapak ada di sini, dan kalau ada sesuatu yang ingin Bapak ceritakan, kami siap mendengarkan. Kadang berbagi itu tidak selalu untuk mencari solusi, tetapi juga bisa melegakan hati.” Perkataan itu membuat Caleb merasa tersentuh. Ia pun mulai bercerita tentang kehidupannya. Saat ia bercerita, istri dan anaknya datang, juga teman-teman lainnya. Mereka sangat senang melihat Caleb sudah bisa menerima keadaannya, dan mau berbagi cerita dengan mereka.
Sejak saat itu, Caleb yang dahulu sangat malas pergi ke gereja, sekarang justru rajin mengajak istri dan anaknya, supaya mereka selalu bersyukur kepada Tuhan serta berkumpul dengan teman-teman persekutuannya.
*Penulis adalah jemaat GKI Gading Serpong.