Tanggal 22 Maret hingga 2 April 2025, saya, Sianiwaty, bersama 22 peserta lainnya, memulai perjalanan spiritual yang tak terlupakan ke Tanah Suci. Perjalanan ini dimulai dari Jakarta menuju Dubai (di hari kedua, kami sempat mampir ke Museum of The Future, Dubai Frame, Burj Khalifa, Dubai Aquarium dan Underwater Zoo), dan dilanjutkan ke Amman, Yordania, sebelum akhirnya memasuki Israel. Setiap langkah dalam perjalanan ini membawa kami lebih dekat dengan sejarah dan keajaiban spiritual.
Pagi hari ketiga, kami merasakan pengalaman unik berenang di Laut Mati, di perairan dengan kadar garam yang sangat tinggi. Tubuh kami dengan mudah mengapung di atas air laut, memberikan sensasi relaksasi yang luar biasa. Tidak hanya itu, kami juga mencoba melulur kulit dengan lumpur Laut Mati yang terkenal, yang membuat kulit kami terasa lebih halus dan segar. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke salah satu dari tujuh keajaiban dunia, yaitu Petra, yang dikenal juga sebagai "Kota Batu". Kota kuno bangsa Arab ini, yang disebut "The Red Rose City", merupakan peninggalan suku Nabatea, dan disebutkan dalam Alkitab Perjanjian Lama dengan nama Sela (2Raja-raja 14:7). Tempat ini juga diperkirakan sebagai jalur yang dilalui oleh tiga orang Majus untuk menemui bayi Yesus.
Hari keempat, kami mengunjungi destinasi berikutnya, yaitu Gunung Nebo di Yordania. Di sanalah Nabi Musa hanya diizinkan Tuhan untuk melihat tanah perjanjian sebelum wafat. Berdiri di puncak gunung ini, kami merasakan kedamaian dan kebesaran sejarah, yang terpahat dalam setiap sudut pandang. Pemandangan yang menakjubkan dari tempat ini mengingatkan kami akan perjalanan panjang dan penuh harapan yang dilalui oleh Nabi Musa dan umatnya. Banyak perjalanan melewati padang pasir yang gersang dan sangat jarang pepohonan. Beruntung suhu udara akhir Maret hingga awal April 2025 berkisar antara 18°C hingga 24°C. Di padang pasir itu, ada suku Bedouin yang bisa bertahan hidup secara nomaden. Pada musim panas, suhu tertinggi bisa mencapai 45°C. Saya membayangkan, betapa sabarnya Nabi Musa selama 40 tahun melakukan perjalanan dari Mesir menuju Kanaan, tanah perjanjian. Kesabaran dan ketahanan yang luar biasa diperlukan untuk bertahan dalam kondisi gersang dan panas yang ekstrem seperti itu.
Setelah itu, kami menuju perbatasan Sheikh Hussein untuk proses imigrasi, sebelum memasuki Israel. Setelah itu, kami langsung menuju Mount Arbel, lalu ke Tabgha, tempat Yesus melakukan mukjizat menggandakan lima roti dan dua ikan untuk memberi makan kira-kira 5.000 orang laki-laki (Yohanes 6:1–15), serta mengunjungi Gereja Primat Petrus, tempat Yesus menampakkan diri setelah kebangkitan-Nya (Yohanes 21:4–7).
Kemudian, kami menuju Kapernaum (bahasa Ibrani: כְּפַר נַחוּם, Kfar Naḥum, yang berarti "Desa Nahum"), yaitu sebuah kota kuno yang terletak di pesisir barat Laut Galilea, di wilayah Utara Israel modern. Tempat ini dikenal sebagai salah satu tempat penting dalam tradisi Kristen, karena sering disebut dalam Alkitab sebagai tempat Yesus melakukan banyak mukjizat dan pengajaran. Kapernaum berperan sebagai pusat pelayanan Yesus di Galilea, dan merupakan tempat asal beberapa murid-Nya.
Dalam situs arkeologi Kapernaum, terdapat sinagoge tua dan rumah ibu mertua Petrus, yang kini menjadi tujuan ziarah umat Kristen dan objek studi sejarah serta arkeologi. Sambil duduk di bawah pohon yang rindang, Ramzi Azar, tour guide kami mengutip,
”Namun, tidak akan ada lagi kesuraman untuk negeri yang terimpit itu. Kalau dahulu TUHAN merendahkan tanah Zebulon dan tanah Naftali, di kemudian hari Ia akan memegahkan jalur ke laut, daerah seberang Sungai Yordan, wilayah bangsa-bangsa lain. Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang tinggal di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar.” (Yesaya 8:23, 9:1)
Ternyata, lokasi yang dimaksud dalam ayat itu adalah Kapernaum, sedangkan ”terang yang besar” adalah Tuhan Yesus. Saat ayat tersebut dituliskan oleh Nabi Yesaya, belum ada kampung Kapernaum. Dengan demikian, ayat ini menubuatkan bahwa Yesus akan berkarya di sana, jauh sebelum Ia dilahirkan di dunia. Ini merupakan pengalaman yang luar biasa, karena kami bisa lebih memahami lokasi dan situasi yang terdapat dalam Alkitab.
Setelah mengunjungi Kapernaum, kami menikmati makan siang dengan menu ikan Petrus, lalu berlayar di Danau Galilea dan mengunjungi Bukit Sabda Bahagia, tempat Yesus mengajar Ucapan Bahagia kepada murid-murid-Nya (Matius 5:1–12). Selanjutnya, kami menuju Yardenit, tempat Yesus dibaptis di Sungai Yordan. Sayang, kami dilarang masuk oleh penjaga pos di lokasi tersebut, karena alasan keamanan. Hari kelima, perjalanan kami dimulai dengan mengunjungi Gunung Tabor, tempat Tuhan Yesus dimuliakan bersama Nabi Musa dan Nabi Elia – kejadian yang menggambarkan Yesus di atas hukum Taurat (diwakili oleh Nabi Musa) dan para nabi (diwakili oleh Nabi Elia). Lalu, kami melanjutkan perjalanan ke Kana di Galilea, tempat Yesus melakukan mukjizat pertama-Nya, mengubah air menjadi anggur (Yohanes 2:1–11). Kemudian, kami menuju Mount Precipice atau Gunung Lompat, yang terletak tepat di bagian Selatan Nazaret, dengan pemandangan panorama Lembah Yizreel, yang juga dikenal sebagai dataran Armagedon. Di tempat berketinggian 397 meter ini, Yesus yang ditolak di Nazareth hendak didorong dari tebing yang curam, karena mengutip Yesaya 61:1 dan menyatakan bahwa nubuatan itu terpenuhi saat dibacakan, dan bahwa tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya (Lukas 4:16–29). Menurut tradisi, Yesus melompat untuk menyelamatkan diri. Disebutkan dalam Lukas 4:30, ”Ia lewat di tengah-tengah mereka, lalu pergi”. Meskipun Alkitab tidak menyebutkan detail tentang lompatan, nama ini tetap melekat dalam budaya dan tradisi setempat.
Hari itu adalah hari Sabat, dan tempat itu adalah batas jarak yang boleh ditempuh pada hari Sabat, yaitu sekitar 2.000 yard (1.828 meter). Yesus berjalan satu langkah, melewati batas perjalanan hari Sabat tersebut, dan tiba di bawah dengan selamat. Orang-orang yang hendak mendorong-Nya tidak berani melangkah lebih jauh, karena tidak mau melanggar aturan hari Sabat. Yesus berani melangkah melebihi aturan itu, karena Dia pernah berkata, ”Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Markus 2:27).
Selanjutnya, kami mengunjungi Gereja Kabar Gembira, tempat Maria menerima kabar tentang kelahiran Yesus dari Malaikat Gabriel (Lukas 1:26–38). Di setiap lokasi, tour guide kami banyak menceritakan apa yang terjadi dan tercatat dalam Alkitab.
Pada hari keenam, kami berangkat dari Bethlehem menuju Bukit Zaitun di Yerusalem. Di sana, kami mengunjungi Kapel Kenaikan, tempat Yesus terangkat ke surga (Kisah Para Rasul 1:9–12). Di dalamnya, terdapat jejak kaki Tuhan Yesus sebelum terangkat ke surga. Selanjutnya, kami ke Gereja Pater Noster, tempat Yesus mengajarkan Doa Bapa Kami kepada murid-murid-Nya. Kami menyusuri Jalan Minggu Palem yang menurun agak curam, melewati dan mengunjungi Gereja Dominus Flevit, tempat Yesus menangisi kota Yerusalem (Lukas 19:37–44). Perjalanan dilanjutkan ke Taman Getsemani. Di sana terdapat Gereja Segala Bangsa, tempat Yesus menghadapi detik-detik menjelang penangkapan-Nya (Matius 26:36–46). Setelah itu, kami menuju Garden Tomb, sebuah taman yang ditemukan pada abad ke-19, dan diyakini sebagai kubur Yesus. Di samping taman tersebut terdapat bukit batu yang menyerupai tengkorak. Siang harinya, kami kembali ke Bethlehem untuk makan siang dan mengunjungi Nativity Church, Gereja Kelahiran Kristus (Lukas 2:7). Kemudian, kami pergi ke Padang Gembala, tempat para gembala menerima kabar kelahiran Yesus dari malaikat Tuhan (Lukas 2:8–15).
Hari ketujuh dimulai dengan perjalanan dari Bethlehem menuju Dome of the Rock atau Bukit Moria, tempat Abraham mempersembahkan Ishak. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke Yerusalem, menuju Bukit Sion untuk mengunjungi Ruang Perjamuan Terakhir (Matius 26:26–29), Makam Raja Daud (1Raja-raja 2:10), dan Gereja Saint Peter in Gallicantu, yang dahulunya merupakan rumah Imam Agung Kayafas, tempat Yesus Kristus dipenjara, sebelum disalibkan.
Kami memasuki ruang penjara di dalam rumah tersebut. Napas saya sesak, dan air mata menetes. Saya terisak-isak ketika membaca Mazmur 88 di dalam ruang penjara Yesus Kristus, membayangkan tubuh-Nya dilemparkan dari atas lubang dan dicambuk berkali-kali. Di sekeliling tembok masih membekas darah-Nya. Penjara itu dingin dan gelap. Saya selalu merinding jika mengingatnya. Di gereja inilah Petrus menyangkali Tuhan Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok (Matius 26:69–75).
Selanjutnya, kami menuju Kota Tua Yerusalem untuk mengunjungi Gereja Saint Anne, tempat kelahiran Maria, ibu Yesus. Kami sempat bernyanyi bersama di dalam gereja tersebut dan mendengarkan efek akustik yang mengagumkan. Di samping gereja ini ada Kolam Bethesda, tempat Yesus menyembuhkan orang yang telah lumpuh selama 38 tahun (Yohanes 5:1–18). Kami menyusuri Via Dolorosa hingga ke Gereja Holy Sepulchre (Makam Kudus) dan lokasi tiang salib Tuhan Yesus. Di kompleks ini terdapat batu tempat Tuhan Yesus dibaringkan saat diturunkan dari salib. Batu itu mengeluarkan bau yang sangat harum. Saya mengambil saputangan dan topi untuk dilapkan pada permukaan batu tersebut. Sampai sekarang, bau minyak Narwastu itu masih ada. Beruntung, rombongan kami hanya mengantri sekitar 30 menit. Biasanya, orang perlu mengantre berjam-jam untuk dapat masuk ke dalam Makam Kudus — bahkan disebutkan ada yang pernah mengantri selama tujuh jam. Menjelang sore, kami berjalan menuju Tembok Ratapan.
Hari kedelapan dimulai dengan meninggalkan Yerusalem menuju Yerikho. Di sana, kami mengunjungi rumah dan pohon Zakheus (Lukas 19:1–10), dan melihat Bukit Pencobaan, tempat Yesus berpuasa selama 40 hari dan dicobai oleh iblis (Lukas 4:1–13). Dari Yerikho, kami melanjutkan perjalanan ke Gua Qumran, lokasi ditemukannya gulungan Kitab Suci oleh seorang anak gembala suku Bedouin. Setelah makan siang, kami menuju perbatasan Taba untuk menyeberang ke Mesir. Dalam perjalanan, kami melewati daerah Sodom dan Gomora untuk melihat tiang garam istri Lot. Setelah melewati perbatasan Mesir, kami langsung menuju kota Dahab.
Hari kesembilan dimulai dengan perjalanan menuju desa Saint Catherine di kaki Gunung Sinai. Setelah makan siang, rombongan terbagi dua. Ada 14 orang mendaki hingga ke puncak Gunung Sinai, tempat Musa menerima sepuluh perintah Allah. Kami menikmati matahari terbenam di sana. Rombongan yang tidak ikut mendaki kembali ke hotel.
Hari kesepuluh dimulai dengan perjalanan dari Dahab menuju kota pantai yang indah, Sharm El Sheikh, di tepi Laut Merah. Di sana, kami mengunjungi Heavenly Church, yang dianggap sebagai salah satu gereja terindah di dunia menurut Trip Advisor. Perjalanan panjang dilanjutkan menuju Kairo, melewati Terusan Suez, terowongan yang menghubungkan Benua Asia dan Benua Afrika. Kami tiba di Kairo pada malam hari, siap untuk petualangan berikutnya. Kami mengunjungi sebuah toko. Di sana, sebagian anggota rombongan kami berjoget ria dengan iringan lagu riang. Semua pengunjung toko menikmati suasana gembira.
Hari kesebelas dimulai dengan sarapan pagi sebelum melakukan city tour di Giza. Kami mengunjungi salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang masih berdiri, yaitu Piramida Raja Cheops, Chephren, dan Mykerinos, serta patung Sphinx. Setelah itu, kami menuju Institute of Papyrus untuk melihat cara pembuatan kertas papirus. Setelah makan siang, perjalanan dilanjutkan ke Old Cairo, di mana kami mengunjungi Gereja Gantung (Hanging Church) dan Gereja Abu Serga, tempat pengungsian keluarga kudus ketika dikejar Herodes (Matius 2:13–15). Kami juga mengunjungi Sinagoge Ben Ezra, tempat Nabi Musa diambil oleh Puteri Firaun dari Sungai Nil. Kemudian, kami mengunjungi Gereja Saint Simon the Tanner (Gereja Sampah), sebuah tempat peringatan berpindahnya gunung oleh doa penuh iman.
Setelah semua kunjungan selesai, kami bersiap menuju Bandara Internasional Kairo untuk penerbangan kembali ke tanah air melalui Dubai. Tak terasa hari-hari yang penuh dengan sejarah dan keajaiban telah berlalu! Perjalanan napak tilas ke Israel ini bukan sekadar wisata, tetapi sebuah perjalanan batin yang memperkaya jiwa dan menambah pemahaman kami tentang sejarah dan kepercayaan Kristiani. Setiap lokasi yang kami kunjungi menyimpan cerita dan pelajaran yang berharga, meninggalkan kesan mendalam yang dibawa pulang ke tanah air. Itu semua membuat kami semakin mencintai TUHAN.
*Penulis adalah anggota GKI Gading Serpong.