Jimmy Carter, Presiden ke-39 Amerika Serikat, dikenal sebagai pemimpin yang mengintegrasikan nilai-nilai iman Kristen dalam kehidupan pribadi dan politiknya. Berikut adalah ulasan tentang kehidupannya, dan bagaimana iman Kristen diimplementasikan dalam aktivitas politik dan pemerintahannya secara efektif.

Kehidupan dan Iman Kristen

Jimmy Carter lahir pada 1 Oktober 1924 di Plains, Georgia. Ia adalah seorang Kristen Baptis yang taat dan mengajar sekolah Minggu selama beberapa dekade di Gereja Baptis Maranatha, di kampung halamannya. Ayahnya juga seorang Kristen yang taat dan aktif melayani sebagai diaken. Gereja menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-harinya. Sejak kecil, ia mendapatkan ajaran Kristen yang menekankan nilai-nilai seperti kasih sayang, pengampunan, dan pelayanan kepada sesama. Iman Kristen ini tidak hanya membentuk karakter, tetapi juga memengaruhi pilihan hidupnya di kemudian hari. Ia menyatakan bahwa iman memberikan motivasi dan kekuatan saat menghadapi tantangan hidup.

Carter sering menekankan pentingnya iman dalam hidupnya, menyebutnya sebagai sumber motivasi dan kekuatan saat menghadapi tantangan hidup. Dalam bukunya, Faith: A Journey for All, ia membahas bagaimana nilai-nilai Kristen membentuk pandangannya tentang dunia. Carter menganggap iman Kristen mendorongnya untuk melayani orang lain. Ia percaya bahwa Yesus mengajarkan pentingnya membantu mereka yang kurang beruntung. Hal ini terlihat ketika ia terlibat dalam gerakan hak sipil dan mendukung integrasi rasial di gereja-gereja.

Selama masa remajanya, Carter juga terpapar oleh tradisi evangelis kulit hitam, dengan menghadiri kebaktian di Gereja St. Mark AME. Pengalaman ini memberinya wawasan tentang semangat dan ketulusan dalam ibadah, yang tidak selalu ada di gerejanya sendiri.

Sebelum menjadi presiden, Carter memulai karirnya sebagai pelaut Angkatan Laut AS dan kemudian terjun ke dunia politik. Ia menjadi gubernur Georgia pada tahun 1970 dengan kampanye progresif, yang menyerukan akhir diskriminasi rasial. Sebagai gubernur, ia meningkatkan jumlah pejabat kulit hitam dalam pemerintahan negara bagian, dan mempromosikan reformasi pendidikan serta birokrasi. Pada tahun 1976, Carter memenangkan pemilihan presiden setelah memanfaatkan krisis kepercayaan publik terhadap Partai Republik akibat skandal Watergate. Masa jabatannya berlangsung dari 1977 hingga 1981.

Iman dan Kebijakan

Nilai-nilai pengampunan dan cinta kasih mendorong Jimmy Carter menjadi mediator dalam konflik internasional, seperti Perjanjian Camp David pada tahun 1978. Carter berhasil menjadi mediator perdamaian antara Mesir dan Israel. Perjanjian ini mengakhiri konflik panjang kedua negara, dan menjadi salah satu pencapaian diplomatik terbesar dalam sejarah AS. Carter menggunakan pendekatan berbasis iman dengan menekankan persamaan spiritual di antara dirinya, Anwar Sadat (Mesir), dan Menachem Begin (Israel). Ia sering mengingatkan, mereka semua adalah "putra-putra Abraham," sebuah ajakan untuk melihat konflik melalui lensa keimanan bersama mereka. Pendekatan ini mencerminkan nilai-nilai Kristen tentang rekonsiliasi dan pengampunan.

Dalam isu hak asasi manusia, Jimmy Carter berkeyakinan, semua manusia diciptakan setara di hadapan Tuhan, dan ini menjadi dasar kebijakan luar negerinya yang berfokus pada hak asasi manusia. Ia menentang pelanggaran hak asasi manusia di berbagai negara, termasuk di Uni Soviet dan negara-negara Amerika Latin. Pendekatan ini mencerminkan ajaran Kristen tentang martabat manusia dan keadilan sosial.

Jimmy Carter aktif mempromosikan kebebasan beragama. Dalam pertemuan dengan pemimpin dunia seperti Deng Xiaoping dari China dan Edward Gierek dari Polandia, Carter secara langsung berbicara tentang pentingnya kebebasan beragama. Ia mendesak agar para pemimpin ini mengizinkan praktik keagamaan yang lebih bebas di negara mereka, meskipun sering kali menghadapi hambatan politik. Tindakan ini menunjukkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip Kristen tentang kebebasan spiritual.

Carter tidak ragu berbicara tentang iman Kristennya dalam konteks diplomasi internasional. Ia pernah membagikan prinsip-prinsip Kristen kepada pemimpin ateis Polandia, Edward Gierek, dan bahkan mendiskusikan kemungkinan menerima Yesus sebagai juru selamat pribadi. Pendekatan ini mencerminkan keyakinannya, bahwa iman dapat menjadi alat untuk membangun hubungan antar bangsa.

Kegiatan Pascapresiden

Setelah meninggalkan jabatannya sebagai presiden, Jimmy Carter terlibat dalam berbagai kegiatan yang mencerminkan komitmennya terhadap kemanusiaan dan pelayanan publik. Pada tahun 1982, ia mendirikan Carter Center sebuah lembaga nirlaba yang bertujuan untuk memajukan hak asasi manusia, meningkatkan kesehatan global, dan memperjuangkan perdamaian. Melaluinya, ia terlibat dalam berbagai inisiatif, termasuk pemantauan pemilihan umum di berbagai negara dan program pengobatan untuk penyakit tropis terabaikan. Carter Center juga berperan penting dalam upaya pemberantasan cacing Guinea dan penyakit lainnya.

Carter menjadi sukarelawan aktif di organisasi Habitat for Humanity, yang membantu membangun rumah bagi orang-orang miskin dan terdampak bencana. Ia pertama kali terlibat dengan organisasi ini pada tahun 1984, dan terus berpartisipasi dalam proyek-proyek pembangunan rumah di berbagai lokasi, termasuk New York City, Haiti, dan daerah yang terkena dampak Badai Katrina. Kegiatan ini menjadi salah satu cara Carter mengaplikasikan nilai-nilai Kristen dalam tindakan nyata.

Carter juga menulis beberapa buku, termasuk memoar politik dan buku puisi. Ia juga sering diundang sebagai pembicara di berbagai forum internasional untuk berbagi pandangannya tentang isu-isu global dan kemanusiaan. Karya-karyanya sering mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai yang dianutnya sepanjang hidup.

Pada tahun 2002, Jimmy Carter dianugerahi Nobel Perdamaian atas upayanya dalam mempromosikan perdamaian dan hak asasi manusia di seluruh dunia. Penghargaan ini mengakui kontribusinya yang signifikan dalam diplomasi internasional dan upaya kemanusiaan.

Carter juga terlibat dalam berbagai kegiatan sosial lainnya, termasuk mendukung pendidikan dan kesehatan di negara-negara berkembang. Ia sering berkunjung ke negara-negara yang membutuhkan bantuan kemanusiaan dan memberikan dukungan langsung kepada masyarakat yang terkena dampak konflik atau bencana alam.

Pelajaran Kehidupan Iman

Dari kehidupan Jimmy Carter, kita belajar bahwa iman dapat menjadi sumber kekuatan untuk menghadapi tantangan hidup. Dedikasinya pada nilai-nilai Kristen seperti pengampunan, cinta kasih, dan kesetaraan menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip spiritual dapat diterapkan dalam kehidupan publik. Selain itu, Carter mengajarkan pentingnya integritas moral dalam membuat keputusan sulit, tanpa mengorbankan komitmen kepada konstitusi atau masyarakat luas.

Kehidupannya adalah contoh bagaimana iman dapat memotivasi seseorang untuk melayani orang lain dengan penuh dedikasi—baik melalui politik maupun kegiatan kemanusiaan setelah masa kepresidenannya.

Kegiatan Jimmy Carter setelah masa kepresidenannya berakhir juga menunjukkan dedikasinya terhadap pelayanan publik, dan komitmennya untuk memperbaiki kehidupan orang lain. Melalui Carter Center dan keterlibatannya dengan Habitat for Humanity, ia berhasil menerapkan nilai-nilai Kristen dalam tindakan nyata yang berdampak positif bagi masyarakat global. Warisannya sebagai seorang dermawan dan pejuang hak asasi manusia terus dikenang hingga hari ini.

Sumber:

https://www.catholicnewsagency.com/news/259831/christian-faith-a-hallmark-of-former-president-jimmy-carter-s-life

https://www.biography.com/political-figures/jimmy-carter

https://www.liputan6.com/hot/read/5856055/profil-jimmy-carter-presiden-ke-39-as-yang-meninggal-di-usia-100-tahun

*Penulis adalah penatua GKI Gading Serpong untuk tahun pelayanan 2024–2026.