Sering kali kita mendengar pertentangan atau konflik antara sesama pemimpin atau antara pemimpin dan bawahan. Hal yang demikian juga terjadi dalam kepemimpinan gereja. Masing-masing berdebat atau bertengkar, memperjuangkan terwujudnya kepentingan diri atau kelompoknya, tanpa mempedulikan kepentingan yang lebih luas.

Jika terjadi di gereja, mungkin gereja itu tidak memiliki panduan kebijakan atau peraturan untuk menata kehidupan organisasi gereja; atau kebijakan dan peraturan telah kehilangan wibawanya, sehingga menjadi sekadar slogan kosong.

Mengapa hal yang demikian terjadi di kepemimpinan gereja? Kembali kita harus menelusuri natur manusia itu sendiri. Sejak kejatuhan manusia, dosa telah mencemari seluruh keberadaan kita, baik itu tubuh, jiwa, pikiran, maupun kehendak kita. Tidak ada bagian dalam diri kita yang terbebas dari kungkungan dosa.

Jadi dosa bukan sekedar apa yang kita lakukan (doing), tetapi lebih jauh menyangkut eksistensi diri kita selaku individu (being). Sin is not tangential or peripheral, but arise from center of our being. It flows from what the Bible calls the “heart”… (Sproul, 1997, 118).

Manusia berdosa dan terbatas, sehingga keputusan dan tindakan yang kita ambil cenderung memiliki motivasi yang tidak benar di mata Tuhan.

Roma 3:9-18 jelas menggambarkan keadaan manusia, di mana tidak ada seorang pun yang benar, tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Inilah kondisi manusia setelah jatuh dalam dosa menurut Alkitab. Manusia diperbudak oleh natur keberdosaannya. Manusia menjadi self-center, berfokus pada kepentingan diri sendiri, bukan God-center, berfokus pada Allah. Kita sudah mati dalam dosa, berarti secara moral dan spiritual kita diperbudak oleh dosa. Kita menjadi hamba dosa itu sendiri. To be dead in sin is to be in a state of moral and spiritual bondage. By nature we are slaves to sin (Sproul, 1997, 130).

Pelagius pada abad ke-4 menolak doktrin dosa asal ini. Pelagius berpendapat pada dasarnya natur manusia itu baik. Manusia memiliki kehendak bebas (free will) untuk menentukan pilihannya, termasuk memilih mana yang baik atau tidak. Bahkan manusia bebas memilih untuk menerima atau menolak anugerah keselamatan itu sendiri. Dalam kehendak bebasnya, manusia dapat memilih untuk taat atau menolak taat kepada Tuhan.

Kehendak Bebas

Alkitab dengan jelas menyatakan, bahwa kita dilahirkan dengan membawa natur dosa. Keberdosaan manusia bersifat universal, “karena tidak ada manusia yang tidak berdosa” (2 Tawarikh 6:36) dan ditegaskan pula “sesungguhnya, di bumi tidak ada orang yang saleh; yang berbuat baik dan tak pernah berbuat dosa! (Pengkhotbah 7:20). Man’s heart is, from birth, inclined to evil (McQuilkin, 1989, 87). Inilah gambaran manusia yang sebenarnya.

Apakah manusia yang demikian masih memiliki kehendak bebas dalam dirinya untuk melakukan yang benar di mata Tuhan? Dengan semboyan “man is the measure of all thing,” prinsip kehendak bebas menjadikan diri kita, baik secara individu maupun kolektif, menjadi tolak ukur penentu segala sesuatu. Seandainya manusia tidak berdosa dan tak memiliki keterbatasan, manusia mungkin dalam kehendak bebasnya dapat membuat keputusan dan bertindak bijak bila diperhadapkan pada berbagai situasi; tetapi realitanya, manusia berdosa dan terbatas, sehingga keputusan dan tindakan yang kita ambil cenderung memiliki motivasi yang tidak benar di mata Tuhan. Kehendak bebas kita sudah tercemar dosa. Free will really does exist; it is, however, distorted by sin (McGrath, 2001, 444). Kehendak bebas yang tercemar dosa membawa kita menuju kebinasaan.

Kehidupan Orang Kudus

John Stott dalam bukunya, Basic Christian Leadership, mengatakan: “much unholiness remains in the holy people: quarrelling, pride, complacency, immorality, taking one another to court, disorder in public worship and boastfulness in relation to their spiritual gifts” (2002, 23). Walaupun gereja adalah kumpulan orang percaya yang telah dikuduskan oleh Tuhan, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ketidakkudusan hidup berupa pertengkaran/konflik, tinggi hati, iri hati, puas diri, pelanggaran susila, saling menggugat ke pengadilan, kesombongan rohani masih juga tampak nyata.

Hal ini mencerminkan manusia yang memang mementingkan diri sendiri (self-centered). Manusia yang mengejar keuntungan dan kepuasan pribadinya dengan mengorbankan pihak lain … people are self-centered and primarily seek their own pleasure and their own good (Smith, 1986, 173). Walaupun kita telah ditebus oleh Yesus Kristus melalui karya penebusan-Nya di kayu salib, namun natur dosa masih melekat dalam diri kita. Memang tidak mudah bagi kita untuk hidup kudus dan taat kepada Tuhan di tengah kehidupan dunia yang juga telah jatuh dalam dosa.

Peraturan yang Memerdekakan

Akibat dosa, manusia kehilangan kemampuan untuk memilih yang benar. Oleh sebab itu Tuhan memberikan hukum kepada manusia sebagai petunjuk untuk hidup kudus. Christians are sinners who still need the law as guideline for holy living (Hoffecker, 1998, 375). Untuk memelihara ketertiban, diperlukan seperangkat hukum untuk mengekang nafsu jahat yang timbul dalam diri kita. Individually we need the law to restrain our sinful impulses. The social order also needs laws to curb vices and thus maintain order in the political realm (Hoffecker, 1998, 360).

GKI adalah gereja reformasi (Calvinis) yang menerima Katekismus Heidelberg. GKI mengikuti alur pikir Agustinus dan Calvin, yang menekankan kerusakan total manusia. Menyadari natur manusia yang berdosa, maka GKI memiliki Tata Gereja dan Tata Laksana yang cukup tebal (366 halaman) untuk menata kehidupan jemaatnya. Kata pengantar dalam Tata Gereja GKI ditekankan, bahwa Tata Gereja dan Tata Laksana GKI, bersama dengan Pedoman Pelaksanaan GKI - dimaksudkan sebagai “buku pegangan” bagi seluruh anggota GKI dan seluruh pejabat gerejawi (penatua dan pendeta) GKI, tanpa kecuali. Jelas tidak ada hak istimewa bagi kelompok tertentu atau lingkup pimpinan tertentu untuk tidak terikat pada “buku pegangan” yang menata kehidupan bergereja ini.

Sebagai jemaat dengan natur dosa (sinful nature) yang masih ada dalam diri kita, hendaklah kita memandang kebijakan, peraturan, dsb sebagai standar moral dalam menata kehidupan kita bersama, baik dalam masyarakat maupun komunitas gereja. Kita harus melihat peraturan yang ada untuk menata diri kita sendiri. Jangan jadikan peraturan sebagai sarana yang sematamata untuk menghakimi atau menghukum pihak yang dianggap melanggarnya. Karena natur dosa dalam diri kita, maka peraturan dibuat untuk memerdekakan kita, bukan untuk memasung kita.

Pergumulan dalam Ketaatan

Kekudusan kita sebagai orang percaya bukan dinilai dari apakah kita secara lahiriah taat terhadap peraturan, tetapi apakah kita mempunyai sikap hati seperti seorang hamba yang tulus. It is possible to do the legally or morally correct thing, but from the wrong motivation (Hoffecker, 1998, 372).

Tuhan melihat motivasi dalam hati kita. Dalam pelayanan, sering kita katakan bahwa pelayanan kita adalah untuk memuliakan Tuhan. Sungguhkah untuk memuliakan Tuhan, atau kita menggunakan nama Tuhan untuk kemuliaan kita sendiri? Christian ethics are to be a straightforward reflection of the heart, not performed to impress people outwardly, but to please God who sees the heart (Matt 6:16) (Hoffecker, 1998, 370). Sebagai manusia yang masih memiliki natur dosa, tidak dapat diingkari, setiap saat kita menghadapi pergumulan untuk taat kepada Tuhan. Kita dapat belajar dari Paulus yang sepanjang kehidupannya terus bergumul: di satu sisi untuk melawan kecenderungan berbuat dosa, dan di sisi lain berupaya untuk taat kepada Tuhan. Paulus mengungkapkannya demikian, “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik. Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku. Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat” (Roma 7:15-19). Kehendak bebas kita bukan bermoto “man is the measure of all thing.” Sebagai orang percaya, kehendak bebas kita takluk di bawah kehendak Tuhan. Kehendak bebas kita terbatas.

Kehendak bebas kita bersama dan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Bersama dan di dalam Kristus, kita memiliki kemerdekaan. Kerajaan Allah hadir jika kita mengakui dan taat pada pimpinan Tuhan dalam kehidupan kita, setia kepada Firman Tuhan.

Sumber

BPMS GKI. 2009. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia. PT. Adhitya Andrebina Agung, Jakarta.

Hoffecker, W. Andrew. 1998. Ethics Revealed by God in Building A Christian World View: The Universe, Society, and Ethics. Volume 2. Editor: W. Andrew

Hoffecker, Gary Scott Smith. Copley Customs Publishing, USA. McGrath, Alister, E. 2001. Christian Theology: An Introduction. Blackwell Publisher, UK.

McQuilkin, Robertson. 1989. An Introduction to Biblical Ethics. Tyndale House Publisher, Inc, USA.

Smith, Gary Scott. 1986. Naturalistic Humanism in Building A Christian World View: God, Man, and Knowledge. Volume 1. Editor: W. Andrew

Hoffecker, Gary Scott Smith. P & R Publishing, USA. Sproul, R.C. 1997. What is Reformed Theology?: Understanding the Basic. Baker Books. Grand Rapid, USA.

Stott, John. 2002. Basic Christian Leadership: Biblical Models of Church, Gospel and Ministry. InterVarsity Press, UK.