Komisi Dewasa sie Pasutri GKI Gading Serpong mengadakan seminar berjudul “Menyiapkan Warisan dengan Bijak, Tanpa Masalah”. Acara dilaksanakan pada Sabtu, 13 September 2025, pukul 10.00 – 12.30 WIB, di Ruang Tambahan Kebaktian, lantai 6 SMAK Penabur Gading Serpong, Jl. Kelapa Gading Barat, Pakulonan Barat, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, dibawakan oleh Dr. Risen Yan Piter, S.H., M.Kn., C.T.A. Narasumber adalah seorang advokat, fasilitator pelatihan, seminar, dan workshop yang dilakukan berbagai institusi perbankan, instansi pemerintahan serta lembaga keagamaan, juga penulis berbagai buku di bidang warisan, seperti Prinsip-Prinsip Hukum dalam Perencanaan Distribusi Kekayaan (hibah, pewarisan dan perkawinan), Perencanaan Distribusi Kekayaan, 7 Kesalahan Umum dalam Perencanaan Warisan, Perlindungan Hukum dalam Perkawinan Campur, dan Merencanakan Warisan itu (Tidak) Mudah.

Antusiasme peserta untuk memahami ketentuan hukum waris dalam keluarga modern sungguh terasa dengan penuhnya ruangan seminar. Dengan total 137 peserta, seminar kali ini terasa padat dan mendapat tanggapan positif dari peserta.

 

Suasana seminar, foto: panitia acara

Diawali dengan definisi perkawinan, pembicara menjelaskan Pasal 1 UU/I/74 Undang-undang tentang Perkawinan (UUP), bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Undang-undang ini dengan tegas menjelaskan, perkawinan yang sah diselenggarakan oleh seorang pria dan sorang wanita dalam ikatan kekal, jadi jenis kelamin telah dideskripsikan, serta tidak diakuinya perkawinan kontrak, karena perkawinan bersifat kekal. Dan syarat formal sahnya perkawinan, dari pasal 2 UUP ayat 1, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ayat 2 menyatakan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Harta Kekayaan

Harta kekayaan dalam perkawinan dibedakan menjadi tiga: harta bawaan, harta bersama, dan harta perolehan. Ketiga jenis harta ini akan mendapat perlakuan berbeda jika terjadi perceraian.  Harta bawaan adalah harta yang diperoleh sebelum menikah, sedangkan harta perolehan merupakan harta yang didapat dari hadiah dan warisan. Jika terjadi perceraian, harta bawaan dan harta perolehan tidak dibagikan kepada pasangannya.  Namun, harta bersama, yaitu harta yang diperoleh setelah pernikahan akan dibagikan sebesar 50% kepada pasangannya.  Jadi, narasumber menyarankan, alangkah baiknya jika sebelum menikah dilakukan perjanjian pisah harta, agar keadaannya jelas, dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Perjanjian pisah harta ini dilakukan dengan akta notaris, dan harus dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

Ia mengilustrasikan, jika seorang pria membeli aset pada 1 Januari, kemudian menikah pada 10 Januari, maka aset tersebut termasuk dalam kategori harta bawaan.  Jika pria tersebut membeli rumah baru dengan uang pribadi pada 11 Januari, maka rumah tersebut termasuk dalam kategori harta bersama.

Warisan

Berdasarkan pengalaman pribadinya, pembicara menjelaskan, 70% perkara keluarga adalah mengenai warisan. Karena itu, masalah warisan harus direncanakan dengan sebaik-baiknya. Cara mewaris sendiri dapat diselenggarakan berdasarkan undang-undang, dan yang kedua berdasarkan wasiat.  Sedangkan hukum waris yang berlaku di negara kita adalah hukum waris Islam, hukum waris nasional (Kitab UU Hukum Perdata/KUHPer), dan hukum waris adat.

Dalam prinsip umum pewarisan, ada beberapa hal yang digarisbawahi, yaitu:

- Pewarisan berlangsung hanya karena kematian (Pasal 830 KUHPer). Jadi, warisan hanya dapat diterima karena yang mewariskan sudah meninggal dunia ataupun dianggap mati secara hukum.

- Para ahli waris yang telah menerima warisan diwajibkan membayar utang, hibah wasiat, dan lain-lain beban, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima dari masing-masing warisan (Pasal 1100 KUHPer). Sehingga, bisa saja seseorang menolak hak waris yang diberikan, karena ternyata kewajibannya lebih besar daripada hartanya.

- Ahli waris harus telah ada pada saat warisan jatuh meluang (Pasal 836 KUHPer). Hal ini yang kemudian akan menjadi bahan perdebatan. Bagaimana jika ahli waris masih dalam kandungan?

- Meninggal bersama tanpa diketahui siapa yang meninggal terlebih dahulu, tidak saling mewaris (Pasal 831 KUHPer), misalnya jika terjadi kecelakaan pesawat.

- Tuntutan waris gugur karena kedaluwarsa, dengan masa tenggang 30 tahun (Pasal 835 KUHPer). Masa 30 tahun adalah jangka waktu yang lama, bahkan bisa melibatkan 2 generasi. Bagaimana jika generasi pertama tidak menggugat, dan baru generasi kedua, setelah 29,5 tahun menggugat hak waris? Hal inilah yang harus membuat kita serius mengurus warisan, sehingga tidak membebani generasi berikutnya.

Ahli waris sendiri dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu:

- Golongan 1: suami atau istri yang hidup terlama, anak-anak, atau keturunannya (tidak dibedakan jenis kelamin maupun waktu kelahirannya).

- Golongan 2: orang tua, saudara-saudara (termasuk saudara tiri).

- Golongan 3: kakek dan nenek dari sisi ayah dan ibu.

- Golongan 4: saudara-saudara lain sampai dengan derajat keenam.

Contoh kasus, jika seorang pria menikah dengan seorang wanita, kemudian pria itu meninggal dunia tanpa anak, maka warisannya akan jatuh ke golongan 1, yaitu istrinya. Jika sang istri kemudian meninggal dunia, karena golongan 1 (suaminya) juga sudah meninggal, harta warisnya akan jatuh ke golongan 2 dari sang istri, yaitu orang tua dan saudara-saudara sang istri, bukan keluarga suami.

Contoh perhitungan persentase warisan untuk golongan 1:

- Jika tidak pisah harta, istri mendapatkan 50% + 25%, sedangkan anak 25%.

- Jika pisah harta, istri mendapatkan 50%, anak 50%.

Surat Wasiat

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seseorang bisa tidak mematuhi hukum waris nasional dengan membuat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali (Pasal 874 KUHPer). Karena wasiat bersifat akta, maka harus dibuat secara tertulis. Jika seseorang ingin menjelaskannya secara lisan melalui rekaman video, dapat dibuat keterangan tambahan dalam akta tertulis, bahwa penjelasannya ada dalam lampiran video. Jika tidak dibuat akta secara resmi, rekaman tersebut tidak dapat dianggap sebagai wasiat.

Wasiat hanya dapat dibuat oleh seseorang yang berumur minimal 18 tahun dan memiliki kemampuan bernalar dan cakap (Pasal 895, 896, 897 dan 898 KUHPer). Kecakapan pewaris dinilai menurut keadaan pada saat surat wasiat dibuat. Kriteria kecakapan ini juga yang harus diperhatikan. Jika seseorang sudah tidak dianggap cakap secara medis (misalnya mengalami dementia), surat wasiat tidak dapat dianggap sah.

Wasiat juga dibuat dengan tidak melanggar ketentuan yang berlaku, misalnya bagian anak tidak kurang dari bagian yang sudah ditentukan dalam hukum nasional, tetapi tidak berlaku untuk pasangan. Jadi bisa saja wasiat dibuat dengan tidak mencantumkan pasangan suami/istri sebagai ahli warisnya, tetapi anak tetap harus dicantumkan.

Dalam UU No. 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan, pemerintah sudah mengatur, warisan tidak kena pajak penghasilan. Demikian juga dengan harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat (dari orang tua ke anak), sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha atau pekerjaan. Karena itu, jika ada di antara kita yang sekarang sedang mengurus persoalan aset warisan, hendaknya segera dilakukan dengan sebaik-baiknya sebelum jangka waktu 30 tahun, supaya kelak tidak membebani generasi berikutnya.

Penutup

Seminar ini ditutup dengan sesi tanya jawab. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari sesi ini pun beragam, misalnya: pertanyaan tentang warisan untuk anak berkebutuhan khusus, bagaimana warisan untuk anak yang sudah menikah di luar negeri dan menjadi WNA, bagaimana mengurus harta properti atas nama orang tua yang sudah meninggal dunia, sampai dengan istilah pelepasan hak waris, yang ternyata tidak dikenal dalam hukum di Indonesia, (seharusnya penolakan hak waris yang ditetapkan di pengadilan).

Pembicara menekankan, sebagai orang tua, kita hendaknya jujur, tertib, dan terbuka dalam melakukan pewarisan. Kita dapat memulainya dari pelaporan SPT, karena jika suatu saat kita meninggal dunia, segala aset dan harta dapat ditelusuri melalui SPT. Apa akibatnya jika kita meninggalkan aset yang tidak tercatat di SPT, kemudian diwariskan kepada anak? Harta tersebut akan dianggap sebagai penghasilan, dan dikenai pajak penghasilan progresif yang berlaku di Indonesia.

Di Indonesia tidak dikenal adanya pajak warisan, sehingga seharusnya ahli waris tidak dikenai pajak, tetapi ada biaya balik nama. Ada sebuah kasus, ketika anak tidak sekaya orang tuanya. Saat orang tuanya meninggal dan mewariskan properti di daerah bergengsi, sang anak pun tidak dapat membayar biaya balik namanya. Jika aset ini tidak dicantumkan dalam SPT, selain biaya balik nama, ahli waris juga akan menanggung PPH progresif.

Kiranya kita semua menjadi semakin bijak dalam mengelola aset titipan Tuhan dan mewariskannya. Seminar ini ditutup dengan doa oleh Pdt. Pramudya, yang berpesan, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah berasal dari kekayaannya itu (Lukas 12:15).

 WhatsApp Image 2025 09 16 at 09.59.41 1

WhatsApp Image 2025 09 16 at 09.59.41

WhatsApp Image 2025 09 16 at 09.59.40

Antusiasme peserta dalam sesi tanya jawab , foto: panitia acara

*Penulis adalah ketua Komisi Perpustakaan dan Publikasi GKI Gading Serpong.