Karena siapakah yang mengetahui apa yang baik bagi manusia sepanjang waktu yang pendek dari hidupnya yang sia-sia, yang ditempuhnya seperti bayangan?Siapakah yang dapat mengatakan kepada manusia apa yang akan terjadi di bawah matahari sesudah dia? (Pengkhotbah 6:12)

Satu bulan terakhir ketika tulisan ini dibuat, suasana terasa begitu suram dan mencekam. Setelah libur Lebaran usai, apa yang ditakutkan benar menjadi kenyataan. Varian baru virus SARS CoV-2 akhirnya mendarat di negeri kita. Dimulai dari Jawa Tengah, lalu dengan kecepatan penuh, ia pun semakin mendekat dan semakin dekat dengan kita. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, kita harus hidup di episentrum penyebaran COVID-19 dunia. Maut terasa begitu dekat. Jika tadinya kita mendengar kabar orang yang kita kenal terpapar COVID-19, atau meninggal karena COVID-19 beberapa bulan sekali, di bulan Juli ini hampir setiap hari kita mendengar kabar seperti itu. Setiap hari! Tak hanya orang-orang yang dekat di hati kita, tapi juga orangorang yang secara harfiah dekat dengan kita, yaitu para tetangga! Salah seorang teman menulis di status Facebook-nya, jika di awal pandemi, terkena COVID-19 itu seperti mendapatkan jackpot, sekarang ini rasanya sudah seperti mendapatkan undian arisan, hanya tinggal tunggu giliran saja!

Tinggal di cluster yang dinyatakan sebagai zona merah, rasanya seperti terperangkap dalam sebuah mimpi buruk. Setiap hari Satgas COVID-19 di RT kami memberikan laporan melalui grup WhatsApp warga. Pertambahan jumlah warga yang terpapar begitu cepat. Dari data awal 18 warga yang terpapar, hanya dalam waktu sepuluh hari, jumlahnya sudah meningkat hingga 50 orang! Tiga hari terakhir ini sungguh mengerikan.

Hampir setiap hari kami mendengar bertambah 1 orang yang meninggal dunia, tak tertolong karena sulitnya memperoleh akses untuk mendapatkan oksigen, ambulans, dan rumah sakit. Hampir setiap malam sirine ambulans terdengar. Kengerian terasa begitu mencekam. Kemampuan varian virus baru yang mampu menular hanya dengan berpapasan selama 5-10 detik, benar-benar merampas rasa aman kita. Rasa aman berkeliaran di depan rumah, yang selama ini kita anggap sebagai hal yang memang sudah seharusnya, kini menjadi barang mahal. Mau mengurus tanaman di halaman pun, kita terpaksa mengintip dulu, apakah ada tetangga sebelah yang sedang berada di luar rumah? Jika ya, terpaksa ditunda, supaya bisa mengurangi risiko penularan. Di depan tetangga, kita tetap bersikap ramah, tapi di dalam hati adaterselip kecurigaan dan rasa waswas, jangan-jangan tanpa disadari mereka sudah tertular?

Pasrah, ngeri, berusaha menabahkan diri, berdoa, memohon Tuhan meluputkan kita dari penyakit berbahaya ini. Apalagi jika kita memiliki penyakit komorbid, tentu menjadi doa yang kita naikkan semakin sering dan semakin bersungguh-sungguh. Hari demi hari dijalani sambil berharap, semoga hari ini bukan kita yang terpilih untuk terpapar, dan semoga virus ini tidak akan pernah berhasil menerobos benteng perlindungan terakhir kita: rumah yang kita tinggali.

Betapa leganya, meskipun di luar badai COVID 19 sedang mengamuk dengan ganasnya, kita masih memiliki sebuah oasis. Setiap hari kita bangun dengan sebuah kesadaran baru, rasa syukur karena masih bisa bernapas dengan lega, sementara di luar sana banyak orang harus berjuang hanya untuk bernapas.

Betapa untuk mengisi tangki oksigen yang kosong saja, orang-orang harus mengantre berjam-jam, bahkan tidak kebagian, saking langkanya. Bahkan pemilik pabrik oksigen terbesar di Indonesia pun harus kehilangan nyawanya karena paru-parunya tak mampu mendapatkan oksigen yang diproduksi perusahaannya. Sungguh miris!

Bertahun-tahun lalu, ketika harus menunggui orang tua saya yang sedang terbaring lemah di rumah sakit, sambil berusaha menyeimbangkan waktu dan tenaga untuk mengurus rumah tangga dan menjemput anak pulang dari sekolah, waktu terasa berlalu begitu cepat dan menegangkan. Di saat seperti itu, betapa saya merindukan untuk dapat kembali merasa bosan karena terkurung di rumah. Baru saya menyadari, bahwa bisa merasa bosan pun ternyata adalah sebuah anugerah, karena berarti segala sesuatunya berjalan dengan baik dan sebagaimana seharusnya!

Tidakkah kini kita pun mendapatkan kesadaran baru, ketika memandang keluarga tercinta yang tinggal bersama kita? Bahwa kebahagiaan yang sedang kita nikmati ini bisa saja terenggut dan terkoyak dalam sekejap mata, ketika tamu tak diundang itu menerobos masuk ke dalamnya? Betapa perihnya kita membaca berita ada seorang anak yang harus menjalani isolasi mandiri sendirian di rumahnya, karena kedua orang tuanya harus menyerah kalah pada malaikat maut bernama COVID-19?

Karena itu, selama kesempatan berharga itu masih ada, nikmatilah, syukurilah! Hiruplah napas dalam-dalam, dan ucapkan syukur kepada Allah yang menyediakannya dengan gratis dan berlimpah bagi kita. Pandanglah, peluk, cium, dan katakanlah dengan sungguh-sungguh kepada suami/istri, anakanak, dan orang tua kita, bahwa kita mencintai mereka. Biarlah cinta itu dapat dirasakan oleh seisi rumah, sebagai warisan yang dapat kita tinggalkan, seandainya pun virus jahanam itu harus mengoyak keutuhan keluarga. Lakukanlah pelayanan yang masih dapat kita lakukan dengan segenap hati dan tenaga, selama masih ada kesempatan. Jadikan hidup kita berguna bagi sesama! Datanglah kepada Tuhan, jalinlah hubungan pribadi dengan-Nya. Jika engkau harus terjangkit virus berbahaya itu, sadarilah, keluargamu pun tidak dapat dan tidak boleh mendampingimu! Hanya Tuhanlah yang dapat kau ajak berbicara dan bergantung! Mari berikan penghargaan baru pada hal-hal yang selama ini hanya kita pandang dengan sebelah mata. Gunakanlah setiap kesempatan yang ada, dan bersyukurlah kepada-Nya atas kasih dan kehidupan, atas segala yang masih dapat kita miliki dan nikmati!