Syukur padaMu, ya Allah, atas s’gala rahmatMu;

Syukur atas kecukupan dari kasihMu penuh.

Syukur atas pekerjaan, walau tubuhpun lemban;

Syukur atas kasih sayang dari sanak dan teman

Penggalan lagu NKB 133 terlintas dalam pikiranku saat menuliskan tulisan ini. Ada sesuatu dari lagu ini yang membuatku merenung tentang aktivitas beberapa hari terakhir ini. Dengan mencari-cari di internet, aku menemukan sejumlah informasi baru tentang lagu ini. Penulis lagu ini August Storm, seorang penyair berkebangsaan Swedia. Dia bergereja di Salvation Army, sebuah denominasi Kristen yang menekankan pelayanan terhadap sesama manusia, terutama orang-orang kurang mampu. Lagu ini ditulis untuk publikasi bulanan Salvation Army. Melalui lagu ini, August Storm berterima kasih kepada Allah yang telah memberinya segala sesuatu yang dibutuhkan.

Di pertengahan hidupnya, dia menderita penyakit punggung yang membuatnya lumpuh, tetapi dia tidak pernah berhenti melayani orang-orang di sekitarnya. Lagu inilah yang mengantarku semakin mengerti apa artinya bersyukur. Akhir Oktober yang lalu, aku berkesempatan mengikuti program yang diselenggarakan Habitat for Humanity, sebuah lembaga non-pemerintah yang mempunyai misi membangun rumahrumah layak huni bagi masyarakat di pedesaan. Program tersebut berlokasi di Desa Marga Mulya Kampung Bebulak daerah Mauk, Banten. Kampung ini terletak di daerah pantai, dan sering menerima bantuan dari Habitat for Humanity selama beberapa tahun terakhir. 

Bersama puluhan relawan lainnya, kami melakukan pekerjaan membangun rumah, diantaranya meletakkan dasar rumah, membangun dinding, dan mengecat. Aku tergabung dalam kelompok yang bertugas merenovasi sebuah rumah warga yang sangat kumuh. Rumah lama sudah dirobohkan untuk digantikan dengan bangunan yang lebih layak huni. Kami melakukan pekerjaan pembuatan fondasi dan membangun tiang-tiang rumah. Bersama-sama kami mencangkul tanah untuk membagi ruangan-ruangan yang akan dibuat di dalam rumah, menyiapkan tiang-tiang penyangga, dan membengkokkan sejumlah besi untuk membuat cincin yang dipasangkan di tiang-tiang tersebut. Kami bergantian melakukan setiap proses meski sinar matahari terus menyengat.

Dulu saat kecil aku pernah membaca buku tentang konstruksi bangunan dan sering melihat proses pembangunan rumah-rumah. Namun terlibat langsung ternyata berbeda dengan membaca buku atau mengamati. Kegiatan ini betul-betul membuka mataku beratnya membangun tempat berteduh. Tidak mudah melakukan hal itu semua, bekerja keras dalam cuaca yang sangat panas, udara yang lembab, dan di bawah teriknya matahari. Walaupun begitu, aku merasakan perasaan bahagia ketika melakukan semua hal ini. Pengalaman baruku bertambah dan aku juga dapat membantu orang lain. Aku pun merasa senang ketika menerima ucapan terimakasih dari suami-istri pemilik rumah. Hal ini membuatku semakin bersemangat membangun rumah untuk mereka. Bersyukur kepada Tuhan Teks: Indrasta Daniel Foto: Dokumentasi Pribadi Ilustrasi: shuttersstock Penggalan lagu NKB 133 terlintas dalam pikiranku saat menuliskan tulisan ini. Ada sesuatu dari lagu ini yang membuatku merenung tentang aktivitas beberapa hari terakhir ini. Dengan mencari-cari di internet, aku menemukan sejumlah informasi baru tentang lagu ini. Penulis lagu ini August Storm, seorang penyair berkebangsaan Swedia. Dia bergereja di Salvation Army, sebuah denominasi Kristen yang menekankan pelayanan terhadap sesama manusia, terutama orang-orang kurang mampu. Lagu ini ditulis untuk publikasi bulanan Salvation Army. Melalui lagu ini, August Storm berterima kasih kepada Allah yang telah memberinya segala sesuatu yang dibutuhkan. Di pertengahan hidupnya, dia menderita penyakit punggung yang membuatnya lumpuh, tetapi dia tidak pernah berhenti melayani orang-orang di sekitarnya. Lagu inilah yang mengantarku semakin mengerti apa artinya bersyukur. Akhir Oktober yang lalu, aku berkesempatan mengikuti program yang diselenggarakan Habitat for Humanity, sebuah lembaga non-pemerintah yang mempunyai misi membangun rumahrumah layak huni bagi masyarakat di pedesaan.

Program tersebut berlokasi di Desa Marga Mulya Kampung Bebulak daerah Mauk, Banten. Kampung ini terletak di daerah pantai, dan sering menerima bantuan dari Habitat for Humanity selama beberapa tahun terakhir. “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” (1 Tesalonika 5:18 TB) Setelah lelah bekerja, aku mengambil waktu untuk beristrahat. Sambil melihat apa yang telah dilakukan, aku mendapatkan dua hal dari pengalaman baru ini. Pertama, seperti masyarakat di desa yang berbahagia memiliki rumah tempat berlindung, aku pun disadarkan untuk berterima kasih pada Allah karena telah menyediakan sebuah rumah untukku. Selama ini, aku menganggap biasa saja dan terkadang meremehkan rumah tempat tinggalku saat ini. Tidak jarang bahkan aku mengeluh saat rumahku mengalami kerusakan.

Yang kedua, aku bersyukur karena jarang ada kesempatan untuk membangun sebuah rumah secara langsung, apalagi jika rumah itu adalah sebuah pemberian untuk orang lain. Meski mereka berterima kasih kepadaku, namun kalau direnungkan lagi, sebenarnya akulah yang harus berterima kasih kepada mereka, bukan mereka. Jika tidak melalui kesempatan seperti ini, mungkin sulit bagiku untuk bersyukur melihat rahmat Tuhan bagiku. Aku sering menganggap semua yang ada sudah seharusnya ada untukku. Aku menjadi teringat ayat di Kisah Rasul 20:35c “…adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima”. Ketika aku memberi, aku merasakan sukacita karena bisa memberi dan juga bisa melihat karya Tuhan yang lebih besar lagi, yang sebelumnya aku tidak sadari. Mungkin inilah yang dirasakan August Storm ketika menulis lagu ini, yang menyatakan syukur atas peristiwa sehari-hari.

Yuk, senantiasa bersyukur untuk segala pemberian-Nya bagi kita; “Syukur pada-Mu, ya Allah, atas s’gala rahmat-Mu…”