Pada akhir tahun 2015, dunia dihebohkan setelah beberapa media international seperti Reuters, BBC dan Daily Mail, ramairamai memberitakan tentang sebuah tembok yang diberi julukan “Wall of Shame”. Tembok ini berada di wilayah kota Lima, Peru, dibangun sepanjang 10 km dan tinggi 3 m. Di bagian atasnya terdapat kawat berduri sehingga orang-orang tidak dapat memanjatnya. Tembok ini dibangun untuk memisahkan dua kubu, yaitu kubu kumpulan orang kaya, dan kubu kumpulan orang miskin, agar orang miskin tidak dapat mencuri dari orang kaya. Kemiskinan membuat angka kriminalitas menjadi tinggi di Peru. Tembok ini telah dikecam oleh banyak negara dan lembaga kemanusiaan. Banyak orang menuntut agar tembok ini dihancurkan karena seperti namanya “Wall of Shame”, tembok ini merupakan aib yang tidak berperikemanusiaan.

Wall of Shame” adalah salah satu tembok yang kelihatan oleh mata yang memisahkan dua kubu. Masih ada tembok lain seperti tembok Berlin dan sebagainya. Tembok ini menjadi penghalang bagi kedua kubu untuk berinteraksi dan bahkan menyatakan kasih di antara mereka. Tetapi tanpa disadari, di dalam hidup manusia banyak sekali tembok pemisah yang dibangun. Sayangnya tembok ini seringkali tak kasat mata sehingga membuat orang tidak sadar dan tidak mencermatinya. Prinsipnya sama seperti tembok di Peru, yaitu memisahkan antara kubu yang satu dengan yang lainnya. Tembok pemisah yang tak kelihatan mata bisa saja pemisah antara yang kaya dan miskin, perbedaan suku, perbedaan warna kulit, perbedaan status sosial, perbedaan kepintaran dan sebagainya. Dampaknya adalah seringkali kita melihat orang berdasarkan hal-hal seperti ini dan membuat kita memilih-milih orang yang cocok dengan kita. Seringkali kalimat ini muncul, “dia bukan berasal dari suku kami, kami tidak mau bergaul dengannya”, “dia beda kasta dengan saya, saya tak mau dekat dengannya”, “dia miskin, pasti dia temanan dengan saya untuk mencari untung” dan masih banyak lainnya. Hal-hal tersebut diucapkan dengan maksud merendahkan dan membuat tembok pemisah. Terlebih lagi hal ini sering terjadi pada gereja Tuhan. Tempat yang seharusnya menerima semua orang, tetapi di dalamnya terdapat banyak pemisah satu dengan yang lain. Hal ini sungguh menyedihkan dan memalukan. Jika Tuhan melihat kondisi gereja Tuhan dan umatnya seperti ini, apakah Tuhan akan tersenyum?

Hal serupa ternyata sudah ada sejak dahulu dalam umat Tuhan di Israel. Israel terkenal sebagai bangsa yang memiliki banyak tembok pemisah. Israel tidak mau bergaul dengan bangsa lain karena menganggap diri mereka adalah bangsa pilihan dan bangsa lain adalah kafir. Sesama golongan petinggi di Israel pun saling membenci. Golongan Farisi dan Saduki tak mau berbaur. Orang kaya dan orang miskin memiliki kesenjangan. Golongan terpelajar dan tidak terpelajar pun terdapat tembok pemisah. Tentunya masih banyak lagi lainnya. Ini sungguh menyedihkan.

Lukas 10 mengisahkan tentang seorang ahli Taurat yang datang mencobai Yesus dan menanyakan bagaimana cara seseorang memperoleh hidup yang kekal. Yesus pun menjawab sesuai dengan apa yang tertulis dalam Firman Tuhan yaitu mengasihi Tuhan dan sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Yesus menekankan tentang hukum kasih yang merupakan kegenapan dari seluruh hukum Taurat. Uniknya, Lukas menulis dengan jelas bahwa ahli Taurat itu hendak membenarkan dirinya dan berkata “siapakah sesamaku manusia?”. Pertanyaan ini perlu dicermati. Mengapa ahli Taurat ini tidak menanyakan tentang kasih terhadap Allah? Jawabannya sederhana, karena dia adalah seorang ahli Taurat. Artinya dia sudah melakukan semua hal yang tertulis dalam kitab suci sebagai wujud kasihnya terhadap Allah. Tak perlu diragukan lagi. Lalu mengapa Lukas menulis untuk “membenarkan dirinya”? Ternyata Lukas melihat ada maksud terselubung dari pertanyaan ini. Seperti yang telah saya tulis di atas, Israel dikenal memiliki tembok pemisah di antara mereka. Pastinya ahli Taurat ini hanya mengasihi sesamanya yang merupakan ahli Taurat atau orang-orang yang selevel dengan mereka. Ahli Taurat ini ingin mendapatkan pujian dari Yesus tentang apa yang ia anggap benar dan apa yang telah ia kerjakan. Namun apa jawab Yesus?

Yesus menjawab dengan sebuah perumpamaan. Ada seseorang yang sedang lewat perbatasan kota Yerusalem dan Yerikho. Dia dirampok habis-habisan dan hampir mati. Lalu lewatlah seorang imam. Imam ini kalau diibaratkan hari ini adalah seperti pendeta atau hamba Tuhan di gereja. Seharusnya hati seorang imam adalah hati yang mengasihi dan menolong. Tetapi apa yang dilakukannya? Bukannya menolong malah dia melewatinya dari seberang jalan. Lewat pula seorang Lewi. Lewi jika diibaratkan hari ini seperti majelis atau aktivis gereja. Bukannya menolong, tetapi dia melakukan hal yang sama seperti yang imam lakukan, yaitu melewatinya dari seberang jalan. Mengapa imam dan orang Lewi ini berlaku demikian? Pertama, kemungkinan mereka berpikir bahwa ini belum tentu orang Yahudi. Adalah sebuah kenajisan jika bergaul dengan orang yang bukan Yahudi. Kedua, mereka tidak mau menyentuh karena jika seandainya orang ini mati, maka mereka akan menjadi najis. Pada zaman itu, orang mati tidak boleh disentuh. Tetapi masalahnya orang ini belum mati! Sungguh menyedihkan jika mereka tak menolong.

Kemudian datanglah seorang Samaria. Samaria bagi seorang Yahudi adalah bangsa yang najis. Awalnya bangsa Samaria adalah orang Israel juga. Tetapi karena mereka telah kawin campur pada saat pembuangan ke Asyur, mereka sudah tidak murni lagi Israel. Maka dari itu mereka dianggap sebagai bangsa yang najis. Israel tak mau bergaul dengan Samaria. Namun jika kita melihat kisah ini, orang yang najis itulah yang menolong orang sekarat ini. Bukan hanya menolong, tetapi juga berkorban banyak. Membalut lukanya, membawanya ke penginapan, merawatnya dan memastikan bahwa orang ini akan pulih. Orang Samaria ini tidak bertanya dahulu kepada orang yang sekarat ini apakah dia orang Samaria atau orang Yahudi. Satu hal yang dia tahu, orang ini harus ditolong. Itulah yang membuat orang Samaria ini menunjukkan kasihnya kepada orang sekarat ini.

Setelah menyampaikan perumpamaan ini, Yesus bertanya, “Siapakah dari ketiga orang ini yang menurutmu, adalah sesama manusia dari orang yang sekarat itu?” Ahli Taurat itu menjawab, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Ahli Taurat tak mau menyebut orang Samaria karena najis. Yesus dengan satu kalimat pamungkas menutup percakapan mereka, “Pergilah dan perbuatlah demikian.” Pernyataan Yesus menohok ahli Taurat ini.

Perbedaan dan keberagamaan itu ada dan nyata. Bahkan Tuhan mengijinkan semua itu ada. Perbedaan dan keberagaman bukanlah satu hal yang perlu diperdebatkan dan menjadi penghalang untuk berkarya. Tuhan sadar bahwa perbedaan itu ada, tetapi Dia tidak pernah mempermasalahkannya. Maka dari itu Tuhan meminta para umatNya untuk mengasihi sesama manusia. Tuhan tak berkata kasihilah sesamamu manusia yang satu suku, atau satu status sosial, satu warna kulit dan sebagainya. Tidak. Tuhan hanya berkata kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Artinya, tak ada pembatas di antara umat manusia. Kasih sudah seharusnya menghancurkan segala tembok pemisah. Karena memang itulah jati diri kasih, melampaui semua batas-batas yang dibuat manusia. Mari bersama hari ini kita belajar mempraktekkan kasih itu dan mulai menghancurkan tembok pemisah yang dibangun diantara kita. “Pergilah dan berbuatlah demikian!”

“Kasih sudah seharusnya menghancurkan segala tembok pemisah.”