Dalam presentasinya disebutkan bahwa kekerasan seksual adalah segala bentuk kekerasan yang memanfaatkan seks dengan tujuan melukai orang lain, tanpa persetujuan dan tidak dikehendaki orang yang terlibat dalam peristiwa itu (Kappler, 2012). Korban kekerasan seksual mengalami luka secara fisik, psikologis, dan spiritual—singkatnya, trauma. Secara mendasar, trauma itu menghancurkan keyakinan-keyakinan mendasar korban akan (i) dunia yang aman, (ii) dirinya yang bermartabat dan (iii) kehidupan yang bermakna (Herman, 1992).

Dan kekerasan seksual terhadap perempuan kadang ditemui dalam berbagai situasi, seperti tragedi 1965 dan 1998. Terhadap situasi itu, pertanyaannya adalah: apakah warisan iman Kekristenan dapat memulihkan korban? Melalui riset yang bertumpu pada pemikiran filsuf Paul Ricoeur (1913-2005) dan teolog Miroslav Volf (1956- ), David Tobing dan Jessica Layantara menyatakan bahwa iman Kristen dapat memulihkan korban.

Peristiwa tragis yang menimpa korban menghancurkan identitas diri korban, maka pemulihan korban berarti pemulihan identitas diri. Pemulihan identitas diri berarti penebusan (redemption) identitas naratif korban (victim’s narrative identity) menjadi identitas naratif penyintas (survivor’s narrative identity), melalui perjumpaan personal dengan Allah, dalam ingatan kudus (sacred memory) yang menyimpan narasi agung Sejarah Keselamatan Kristen (Christian Grand Narrative). Penyaliban Allah adalah sapaan Allah kepada manusia, yang telah jatuh ke dalam dosa, untuk mengenali dirinya secara berbeda. Sapaan itu merupakan wujud belas kasih tanpa syarat (unconditional grace) dari Allah kepada manusia. Melalui belas kasih-Nya, Allah mengundang manusia untuk mendekati-Nya, dan memulihkan relasi antara manusia dan Allah yang telah rusak oleh dosa—inilah anugerah penebusan, yang akan menempatkan sejarah hidup manusia dalam kerangka Sejarah Keselamatan yang dirancang Allah. Rekonsiliasi antara Allah dan manusia ini selanjutnya menjadi dasar bagi rekonsiliasi antara manusia dan sesama, yang akan mengubah dunia yang ditandai oleh permusuhan, menjadi dunia yang ditandai oleh perdamaian. Relasi antara manusia dan Allah itu hanya dapat ditemukan dalam ingatan kudus, ingatan yang memulihkan diri yang terluka.

Perjumpaan dengan Allah menebus diri yang terluka menjadi diri yang terpulihkan—diri yang tulus mengenali peristiwa tragis sebagai “bagian yang tak masuk akal dalam kisah kehidupan[-nya]” tanpa kehilangan pengharapan pada Allah. Semestinya, kepada diri yang terpulihkan inilah kita belajar untuk mengenali siapa Allah, siapa diri kita, siapa sesama kita, dan dunia seperti apa yang sebaiknya kita wujudkan. Dengan kata lain, kita mesti bersedia mendengarkan kesaksian diri yang terpulihkan—kesaksian yang sesungguhnya berdampak pada penebusan diri kita dan juga dunia ini.

Dari tulisan ini diharapkan para korban kekerasan seksual bisa mendapatkan suatu pencerahan, bahwa pemulihan adalah suatu keniscayaan, karena Tuhan telah memulihkan kita melalui pengorbanan Anak-Nya. Demikian juga hendaknya komunitas dalam memandang korban. Perjumpaan dengan Allah dan iman kepada-Nya adalah titik balik korban menjadi seorang penyintas.