“Apa yang harus aku lakukan dalam suasana Covid-19 ini?” tanyaku kepada seorang teman yang dikenal bijaksana. Aku bertanya karena aku sendiri merasa gelisah melihat suasana belakangan ini. Angka kematian yang terus menanjak, PHK dimana-mana, serta ketakutan jika aku dan orang-orang terdekat akan tertular penyakit ini. Belum lagi ditambah dengan kejenuhan tidak bisa beraktifitas seperti biasa dan rasa gelisah karena banyaknya berita yang dibombardir oleh media-media.

Temanku hanya menghela napas. Tidak menjawab pertanyaanku, ia malah mengajukan pertanyaan, “Dimana semangat Paskah yang seharusnya membuatmu terus berkobar-kobar? Mana keyakinanmu yang sering kaugunakan untuk menguatkan orang lain?”

Aku tidak bisa langsung menjawab. Terus terang, saat ini hatiku tidak seperti nasihat yang sering aku sampaikan ketika konseling atau di media sosial. Nyaliku ciut sekarang melihat keadaan seperti ini. “Jujur, aku takut dan penuh keraguan. Itulah perasaanku saat ini”.

“Sebenarnya perasaanmu tidak jauh berbeda dengan yang dirasakan oleh murid-murid Yesus ketika mendengar kabar kebangkitan-Nya. Kamu mirip dengan mereka,” katanya menanggapi jawabanku.

Ketakutan dan Keraguan

Alkitab terbuka mencatat perasaan para murid ketika mendengar kabar kebangkitan. Meskipun mereka bergaul karib dengan Yesus dan berjumpa terus hampir setiap hari, tetap saja mereka diliputi oleh keraguan.[i] Kisah Thomas sang peragu pun ditampilkan jelas tanpa ditutup-tutupi.[ii] Bahkan, ketika Yesus hendak naik ke surga dan memberikan perkataan terkenal-Nya di Matius 28:19-20, satu ayat sebelumnya, menampilkan bahwa beberapa diantara para murid masih diliputi keraguan (ayat 17).

Bagi kita di masa kini, keraguan mereka rasanya sulit dipahami. Bukankah sejak kebangkitan Yesus mereka telah beberapa kali berjumpa dengan-Nya? Belum lagi kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang dalam lingkaran terdekat Yesus. Mereka adalah orang percaya dan mungkin setara dengan rohaniawan kelas tinggi saat ini. Namun, ternyata Kitab Matius mencatat lain. Hati beberapa dari mereka disebutkan masih diliputi keraguan.

Misteri

Kita yang hidup ribuan tahun kemudian dengan mudah mencemooh murid-murid tersebut dan mengatakan mereka kurang beriman. Berbekal doktrin yang kita punya, dan karena pengetahuan kita tentang jalan cerita selanjutnya, dengan cepat kita menilai kisah para murid tersebut sebagai contoh kisah orang kurang beriman.

Namun, masa pandemi Covid-19 yang belum berakhir ini membuka pintu untuk kurang lebih memahami perasaan para murid. Saat ini kita belum tahu kelanjutan pandemi Covid-19, sama seperti para murid yang tidak tahu bagaimana nasib mereka setelah kebangkitan Yesus. Tidak mengetahui babak selanjutnya, apalagi tidak mengetahui ujung sebuah perjalananan adalah jalan mulus bagi cengkeraman ketakutan dan keraguan.

Masa penantian Covid-19 ini juga membuka pintu bagi kita untuk berbela rasa dengan mereka yang pernah kita pandang sebelah mata, karena kita anggap mereka kurang beriman. Mungkin kita pernah melalui suatu peristiwa atau tahu ujung jalan sebuah masalah, terkadang dengan mudah kita menyodorkan ayat “Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya”. Kutipan ayat ini disodorkan kepada mereka yang sedang mengalami keraguan dan ketakutan, tanpa kita sendiri berusaha menyelami jalan yang mereka telah dan akan tempuh.  

Pada masa ini kita dipertemukan dengan keadaan dimana hal-hal yang kita jadikan landasan kehidupan seakan menjadi tidak berarti. Luasnya pengetahuan, banyaknya pengalaman, jumlah tabungan, jaminan asuransi atau investasi, pekerjaan atau bisnis yang lancar, atau kondisi tubuh yang sehat seakan tidak ada artinya di hadapan virus Covid-19. Saat ini, belum pernah ada yang tahu bagaimana menyikapi pandemi Covid-19 ini.  Ketidakpastian dan ketidaktahuan tentang masa depan, bahkan untuk apa yang akan terjadi hari esok, sangat nyata di depan mata kita sekarang.

Inilah yang disebut misteri.

Misteri rupanya bukan barang baru di Alkitab. Bagaimana karya Tuhan terjadi dan kapan karya tersebut diwujudkan itulah misteri yang sulit dipahami manusia. Yesus pernah dengan sengaja menunda kunjungannya ke tempat Lazarus. Ia baru hadir ketika Lazarus telah meninggal.[iii]  Yesus pun pernah diperhadapkan dengan orang yang buta sejak lahir dan menghadapi pertanyaan siapakah yang berbuat dosa atas kejadian tersebut. Berbeda dengan dogma yang dianut kebanyakan orang pada masa tersebut, Ia menjawab: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”.[iv]

Di lain waktu, ketika para murid bertanya sebelum kenaikan-Nya ke surga apakah Ia mau sekarang memulihkan kerajaan Israel, Ia pun menjawab, “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya”.[v] Murid-murid ingin dengan kebangkitan Yesus, pemulihan kerajaan Israel sesuai versi mereka akan terjadi. Namun, Yesus dengan tegas menunjukkan bahwa kerajaan-Nya bukan seperti yang dipikirkan para murid. Tuhanlah pemegang kunci, dan bagaimana serta kapan hal tersebut terjadi adalah misteri bagi manusia.

Membingkai Masa Depan

Ketakutan sangat nyata pada masa pandemi ini. Beberapa rohaniawan pun gagap bersikap, dan kita sudah menyaksikan beberapa contohnya. Ketika tidak ada bekal memahami apa yang akan terjadi dan tidak ada pengalaman telah melewati suatu peristiwa, maka kita tersadar bahwa kekuatiran dan ketakutan itu nyata. Kepongahan rohani diri sendiri pun dengan mudah terlihat ketika menyadari bahwa kita tidak punya andil sedikitpun atas apa yang terjadi satu jam lagi.

Sebelumnya, mungkin kita membingkai Tuhan dalam sebuah rumusan. Misalnya, jika kita telah melakukan a, b, c, maka Tuhan akan bertindak dengan hasil x, y, z. Jika kita melakukan kekurangan e, f, g, maka hasilnya akan berubah menjadi p, q, r. Atau jika waktu meminta kurang tepat, maka waktu pemenuhan akan terlambat. Tuhan bagi kita tidak ubahnya seperti rumusan teologis yang bisa dikalkulasi atau diajak melakukan transaksi seperti rekanan bisnis semata. 

Ketika mengikuti kisah para murid selanjutnya, kita pun melihat bahwa mereka tidak berusaha lagi membingkai karya Tuhan. Kapan dan dengan cara apa Tuhan bertindak adalah bagian Tuhan. Masa depan tidak perlu dibingkai lagi menurut pemahaman mereka. Kepasrahan dan pengharapan justru menjadi jangkar yang kokoh ketika menjalani kehidupan selanjutnya. Mereka terus mengikuti Tuhan setahap demi setahap.

Kisah bagaimana jemaat mula-mula dibangun seperti yang diceritakan di Kisah Para Rasul menunjukkan kepada kita bagaimana para murid berproses memahami misteri karya dan waktu Tuhan.  Sejarah gereja mencatat Thomas yang dikenal sebagai peragu terus bertahan sampai akhir hayatnya menceritakan kasih Tuhan yang pernah menyapanya di waktu ia diliputi keraguan. Petrus pun dicatat mewartakan karya Tuhan sampai akhir hidupnya. Pemulihan kerajaan Israel ternyata bukanlah seperti yang mereka dambakan di awal mereka mengikuti Yesus. Kerajaan Allah dan pemerintahan-Nya tampil dalam bentuk lain dan sesuai dengan waktu-Nya.

Akhirnya

“Jadi, dimanakah semangat Paskahmu?” ujarnya kepadaku.

Kali ini aku menjawab dengan penuh keyakinan: “Masa tidak menentu sekarang ini memberikan kesempatan bagiku bercermin tentang relasiku dengan sesama dan Tuhan. Aku belajar dua hal.”

“Yang pertama, rasanya aku pernah arogan kepada sesamaku yang mengalami ketakutan dan keraguan, tanpa pernah berusaha menyelami jalan yang mereka telah dan akan tempuh. Hanya karena aku pernah melewati jalan itu atau punya pengetahuan tentang masalah tersebut, bukan berarti aku bisa sembarangan menilai mereka. Aku seharusnya mau berjalan bersama mereka sebagai sahabat.”

Setelah menarik nafas sebentar, aku meneruskan: “Yang kedua, ternyata aku telah berupaya membingkai Tuhan agar Ia bertindak sesuai teoriku tentang Dia. Namun, justru dalam kepasrahan dan pengharapan, aku melepaskan bingkaiku tentang Dia dan membiarkan-Nya berkarya sesuai kehendak dan waktu-Nya. Aku ingin bisa seperti Paulus yang mengatakan ‘O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?’[vi]

Temanku tersenyum “Nah, kamu sudah menjawab pertanyaanmu sendiri”

 

[i] Lihat Matius 28:8, Markus 16:8, 13-14, Lukas 24:11

[ii] Yohanes 20:26-31

[iii] Yohanes 11:6

[iv] Yohanes 9:3

[v] Kisah Para Rasul 1:7

[vi] Roma 11:33